"Bagaimana Tina? Apakah kau sudah punya calon? Usiamu sudah masuk kepala tiga, Ana adikmu sudah mau dilamar. Apakah kamu tak ingin berumah tangga? Apa yang kau tunggu lagi, kuliah sudah selesai, di kantor jabatanmu baik," tanya ibu.
"Bu? apa enggak ada pembicaraan lain, selain itu lagi, itu lagi. Biarkan Ana mendahului, bu. Bukankah kita tidak boleh saling menghalangi? monggo kalau Ana mau duluan", jawab Tina, sambil merangkul ibunya.
   OoO
Pagi, semua ... sapa Tina, memasuki kantornya. Pagi, juga, balas pak Tito, sambil melepas senyum tergantengnya, di pojok ruangan.
"Ah ... kenapa sigendut itu yang menyahut sih," gerutu Tina dalam hati.
Pak Tito adalah pegawai paling tua dan masih perjaka di kantor itu. Badannya yang gemuk, kumisnya yang tebal, matanya yang suka jelalatan kalau melihat karyawan wanita. Dan satu lagi yang membuat Tina geli melihatnya, kancing bajunya yang selalu terbuka, tak mampu menahan perutnya yang gendut. Terlebih jika telah makan siang, kancing yang terbuka menjadi dua.
"Oh ... My God, kenapa harus ada makhluk seperti itu? semoga hariku tidak dirusak oleh sapaannya tadi."
Mira yang ada seberang meja, senyum-senyum melihat perubahan wajah Tina yang ceria berubah amburadul. "Jangan terlalu membencinya non, nanti dari antipati menjadi simpati, loh" bisik Mira sambil cekikikan.
"Tutup mulutmu, Mir. Jangan bikin story lagi ya." Cubitan Tina mendarat di lengan Mira. "Aduh ... Sakit Tin, galak amat sih."
"Sapa yang gak galak, kamu bilang kayak gitu."
"Realistic-lah Tin, survey mengatakan kalau ada yang dibenci dari seseorang, nanti akan berbalik loh?" bisik Mira.
"Amit-amit deh"