Belakangan ini kita sering kali mendengar tentang isu tentang pemanasan global baik dari media konvensional maupun media digital. Pemanasan global adalah proses meningkatnya suhu bumi, lautan, ataupun atmosfer. Salah satu penyebab utama dari pemanasan global adalah banyaknya kendaraan berbahan bakar fosil di Indonesia. Hal ini terjadi karena pembakaran fosil menghasilkan gas karbon dioksida dan gas lainnya yang biasa dikenal dengan gas rumah kaca yang dapat menyerap panas matahari. Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2019 terdapat 136,6 juta kendaraan bermotor dan terus meningkat sampai 141,9 juta pada tahun 2021. Hanya dalam waktu dua tahun peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia bisa mencapai 5,3 juta unit. Bertambahnya kendaraan bermotor tentu juga seiring dengan peningkatan polusi udara dan kemacetan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya adalah meningkatkan jumlah transportasi umum berbasis rel di Indonesia. Opsi ini menjadi opsi terbaik karena transportasi berbasis rel memiliki kelebihan, seperti waktu tempuh yang lebih cepat, mengurangi kemacetan, dan tentunya mengurangi polusi udara.
Memilih menggunakan transportasi berbasis rel seperti KRL tentu akan membuat perjalanan menjadi lebih cepat. Hal ini bisa disebabkan karena kecepatan KRL bisa mencapai 95km/jam. Walaupun kecepatan kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil bisa melebihi KRL, akan tetapi KRL bisa terus dalam kecepatan yang stabil dan bebas dari rambu-rambu ataupun gangguan lalu lintas. Hal ini tentu akan sangat membantu mempercepat mobilitas masyarakat terutama di kota-kota besar yang senantiasa sibuk seperti Jakarta.
Keunggulan lain dalam menggunakan transportasi umum berbasis rel adalah mengurangi kemacetan. Kapasitas KRL bisa mencapai 250 orang untuk setiap gerbong. Banyaknya penumpang KRL dalam satu gerbong setara dengan 63 mobil dengan asumsi satu mobil berisi 5 penumpang, dan setara dengan 125 sepeda motor. Semakin banyak masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memilih menggunakan transportasi umum tentunya akan mengurangi banyaknya kendaraan pribadi yang ada di jalan yang tentunya juga akan menurunkan tingkat kemacetan.
Yang paling utama dari penggunaan transportasi umum berbasis rel adalah rendahnya emisi karbon yang dihasilkan dibandingkan dengan transportasi pribadi seperti kendaraan bermotor lain, seperti mobil ataupun motor. Bahkan, ada jenis transportasi berbasis rel tertentu yang tidak menghasilkan emisi karbon sama sekali karena sudah menggunakan energi listrik sebagai bahan bakar. Menurut geenly.earth, 71% emisi karbon berasal dari pengguna jalan. Sedangkan kereta api hanya menyumbangkan sekitar 1,8%. Sebuah kereta cepat Eurostar hanya menghasilkan 6 g CO2 per km, sedangkan kereta api konvensional paling berpolusi yang masih menggunakan tenaga diesel menghasilkan 41 g CO2 per km. Ini tentu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan emisi karbon yang dihasilkan sepeda motor atau mobil yang masing-masingnya menghasilkan 103 dan 192 g CO2 per km. Terlihat jelas bahwa kereta dengan kapasitas 250 orang menghasilkan emisi karbon kurang dari setengah dari emisi yang dihasilkan sepeda motor yang kapasitasnya hanya dua orang. Hal itu menjadikan transportasi umum berbasis rel menjadi salah satu solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan polusi udara.
Meningkatnya kebutuhan akan transportasi menjadikan transportasi umum berbasis rel sebagai opsi terbaik. Selain dapat menghindari kemacetan, bisa juga mengurangi dampak dari polusi udara akibat emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dari pemerintah untuk memeratakan transportasi umum berbasis rel di Indonesia agar dapat mengurangi dampak negatif dari polusi udara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H