Mohon tunggu...
Nita Wakan
Nita Wakan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Addicted to literature, painting, and economics. Undergraduate student of Accounting Major, Gadjah Mada University.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Usai Shalat Ada Bunga untuk Emak

17 Agustus 2012   19:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13452318691618791730

Emak, begitu aku dan adikku memanggilnya. Ibu dari ibuku yang seharusnya ku panggil nenek.

Tapi sudah dari kecil aku memanggilnya, “Emak”. Sulit untukku mengubah kebiasaan itu.

Emak berarti ibu. Seperti itulah keberadaannya buatku. Ia lebih dari seorang nenek karena ia mengambil sebagian peran ibuku, misalnya dalam hal memasak. Ibu hampir tidak pernah memasak karena sibuk mengurus adikku yang masih kecil dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Hal ini membuat Emak sering datang ke rumah kami untuk sekedar memasak sayur labu kesukaanku.

Emak yang kira-kira saat itu berumur enam puluh tahun, masih semangat naik angkutan umum tiga kali untuk sampai ke rumah kami. Setiap datang, ia tak pernah absen membawa satu hingga tiga sisir pisang lampung untukku. Jadi kalau kulihat ada pisang di meja makan, artinya Emak baru saja berkunjung.

Sering aku memintanya untuk tinggal di rumah kami. Tapi ia selalu menolak dengan alasan tidak ingin menyusahkan anak dan cucunya. Setiap ia main ke rumah kami, aku suka meletakkan uang ribuan di sendalnya atau diam-diam memasukkan uang ribuan ke dalam tasnya. Itu karena aku tahu, ia sedang mengumpulkan uang untuk naik haji. Aku senang ketika dia mengelus kepalaku sambil berujar, “Neng geulis bageur.”

Emak kemudian membeli kulkas baru dengan sedikit bantuan uang dari ayah. Ia menjual es batu ke penjual daging ayam dekat rumahnya. Banyak urat-urat hijau menonjol dari kedua kakinya. Tapi ia tetap saja berjalan kaki mengantar es-es batu pesanan kepada para pelanggan. Kurang lebih dua tahun, Emak akhirnya berhasil naik haji dari uang hasil menjual es batu. Perjuangan yang luar biasa. Itulah mengapa aku bersimbah air mata ketika membaca buku Emak Ingin Naik Haji karya Asma Nadia. Kisahnya mengingatkanku pada Emak.

Menjelang lebaran, Emak akan datang ke rumah kami untuk membuat ketupat, opor ayam, sayur labu, dan biji ketapang. Aku suka menemaninya belanja ke pasar dan membantunya membuat adonan biji ketapang. Kemudian kami berangkat bersama ke masjid untuk shalat Ied. Emak akan memotong ketupat untuk aku dan adikku, menyapu lantai, menyiapkan kue lebaran, dan menjaga rumah selama kami pergi mengunjungi oma dan opa.

1433 H, Syawal pertama tanpa kehadiran Emak di rumah kami. Emak juga tidak menepati janjinya untuk membawakanku bunga saat aku diwisuda nanti. Meski begitu, aku akan mengunjungi Emak seusai shalat Ied. Aku akan meletakkan bunga terindah di atas kuburnya. Emak terjatuh menghadap kiblat ketika hendak membeli obat di Rumah Sakit Haji Pondok Kopi tiga bulan lalu. Sejak itu, Emak tidak bangun lagi.

We are sobusygrowing up, we often forget they are alsogrowing old

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun