Jujur itu apa adanya, tidak ditutupi, ditambahi ataupun dikurangi. Seperti sebuah kaca yang memantulkan apa yang ada dihadapannya, seperti itulah seharusnya sebuah kejujuran berada. Karena kejujuran menunjukkan kesinambungan antara ucapan, perbuatan, dan apa yang ada di dalam batin seseorang.
Jujur, rangkaian lima huruf yang mudah dilafalkan dan tidak asing lagi ditelinga. Namun, sangat langka dan mahal harganya. Scarcity of honesty. Mahal karena semua orang menginginkan kejujuran tapi begitu langkanya orang yang jujur.
Menjaga perasaan bahkan bisa menjadi musuh terbesar sebuah kejujuran. Ketika kita tidak ingin menyakiti orang lain kemudian kita berbohong dan mengatakan karyanya adalah sebuah keindahan. White lies. Kebohongan tetaplah kebohongan. Ketidakjujuran adalah ketidakjujuran, apapun alasannya.
Ketidakjujuran layaknya candu. Sekali kita tidak jujur, maka biasanya kita dipaksa untuk tidak jujur lagi dengan membuat kebohongan baru untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Lalu apa yang bisa mengalahkan kebohongan? Jujur!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.”
Kejujuran bisa diciptakan, kejujuran bisa dicatat oleh sejarah, tapi kejujuran tidak bisa diturunkan. Seorang ayah yang jujur belum tentu memiliki anak yang jujur semahal apapun sang ayah menyekolahkan anaknya. Karena, mata uang kejujuran tak akan pernah tercipta. Tidak ada alat tukar yang sama nilainya dengan sebuah kejujuran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI