1. Definisi Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice) dan Isme yang berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Pragmatisme merupakan salah satu aliran filsafat yang muncul di Amerika pada akhir abad XIX M. Aliran filsafat ini sangat berpengaruh bagi kehidupan intelektual Amerika. Bangsa Amerika umumnya menginginkan hasil yang nyata yang mana sesuatu dianggap penting jika memiliki sisi kebermanfaatan bagi manusia. Konsep pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre Peirce pada tahun 1839, menyatakan bahwa sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis (Istiqomah, dkk, 2022)
Seiring berjalannya waktu, aliran filsafat pragmatisme mulai menjalar pada dunia pendidikan. Hal tersebut ditandai dengan upaya penyelarasan antara penjajakan pikiran manusia dengan solusi bersama. Pendidikan pragmatisme memandang bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna bagi kehidupan individu. Oleh karenanya, pendidikan harus dibuat secara terbuka dan seluwes mungkin sehingga tidak mengekang kebebasan serta kreatifitas peserta didik. Implementasi.
2. Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme di Amerika secara garis besar berkembang melalui tiga tokoh besarnya yaitu:
Charles Sandre Peirce (1839-1914 M). Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika dan bukan teori kebenaran melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah.
William James (1842-1910 M). William selain menamakan filsafatnya dengan “pragmatisme”, ia juga menamainya “empirisme radikal”.
John Dewey (1859-1952 M). Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusia
Abad ke19 menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, di antaranya ialah Karl Marx (1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (1842- 1910) di kontinen Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran. Baik sosialisme maupun pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan, getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran. It is useful because it is true, it is true because it is useful.
3. Ciri Khas Pragmatisme
Dikutip dari Istiqomah, dkk, 2022, filsafat pragmatisme memiliki ciri khas sebagai berikut:
- Tidak Mempertanyakan Hal Yang Normatif
Bagi Pragmatisme, segala pengertian yang mempunyai cara untuk menjelaskan semua hal dalam setiap situasi mustahil untuk didapatkan. Pragmatisme menemukan bahwa ada banyak kriteria mengenai kebenaran dan kebaikan. Dalam epistemologi misalnya, kita menemukan berbagai teori kebenaran seperti koherensi, korespodensi, atau pragmatik. Ketiganya memiliki kriteria berbeda untuk sebuah kebenaran.
- Anti-Absolutisme
Pragmatisme menolak metafisika yang diartikan sebagai ide umum yang tetap dan terpisah dari pengalaman aktual. Pragmatisme tergolong anti esensialisme karena menolak hal-hal yang fundamental, distingtif dan umum seperti kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Pragmatisme disebut juga relativisme radikal, karena melawan absolutisme.
- Anti Dualisme
Para Pemikir Pragmatisme menolak dualisme. Penolakan mereka berdasarkan asumsi mengenai hakikat realitas sebagai sesuatu yang terus mengalir, bukan yang terpecah-pecah dalam unit-unit, serta pendirian bahwa yang paling utama ialah yang terbukti dalam tindakan. Pembedaan dalam dualisme, seperti subjek dan objek, jiwa dan raga, nilai dan fakta, tidak ada lagi apabila realitas dilihat sebagai yang saling berkesinambungan satu sama lain.
4. Implikasi pragmatisme dalam Kesuksesan di Bidang Pendidikan
Pragmatisme menekankan pada nilai/kegunaan/kebermanfaatan. Menurut Dewey pendidikan harus bersifat partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru.
Dalam pendidikan partisipatif dari pragmatisme seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator sedangkan keaktifan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreativitas. Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang dihadapi.
Dewey meyakini bahwa pusat dari kurikulum seharusnya mencakup pengalaman peserta didik. Pendidikan harus membawa konsep mengenai perubahan dan perkembangan masyarakat. Kurikulum harus mengabdi kepada peserta didik sehingga dengan bantuan kurikulum peserta didik dapat merealisasikan dirinya, mewujudkan bakat-bakat, nilai, sikap untuk hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, apa yang tersaji dalam kurikulum adalah interaksi antar peserta didik serta interaksi guru dan murid.
Metode pendidikan ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiry and discovery method). Filsafat pragmatisme mendukung kemajuan model pembelajaran yang akan memfasilitasi kegiatan belajar peserta didik. Filsafat pragmatisme berkontribusi besar terhadap inovasi-inovasi di dunia pendidikan yang dimulai dari inovasi pendekatan pembelajaran, model pembelajaran, metode pembelajaran, bahkan hingga asesmen pembelajaran. Kemajuan strategi-strategi yang sekiranya akan memfasilitasi kegiatan belajar peserta didik itu tentu akan memajukan sistem pendidikan di Indonesia.
Guru menurut pragmatisme bukanlah guru dalam pengertian tradisional. Guru bukan seseorang yang tahu apa yang dibutuhkan siswa di masa depan dan oleh karenanya mempunyai fungsi memberi/menanamkan seperangkat pengetahuan esensial kepada siswa. Untuk satu hal, kaum pragmatis mengaku, tak seorangpun tahu apa yang siswa butuhkan sejak ia hidup di dunia yang berubah secara terus-menerus.
Pendidik atau guru berperan mengaktifkan peserta didiknya agar memiliki kemampuan berkomunikasi, berdialog dengan orang lain, utamanya di kelas, baik dengan pendidiknya, maupun dengan sesama peserta didik tentang berbagai hal sebagai suatu cara mengekspresikan ide-idenya yang diharapkan bermanfaat untuk mengatasi persoalan keseharian. Sudah barang tentu, titik tolak pembicaraan dalam pembelajaran adalah materi pelajaran/bahan ajar yang dibicarakan pada saat itu, yang kemudian dikembangkan menjadi persoalan-persoalan keseharian yang terjadi di sekitarnya yang merupakan realitas yang terjadi di masyarakat (Istiqomah, dkk, 2022).
Pragmatisme berkeyakinan mengenai perlunya menempatkan siswa, kebutuhan dan minatnya sebagai sesuatu yang sentral. Mata pelajaran, mereka claim, seharusnya dipilih dengan mengacu pada kebutuhan siswa. Selain itu, kurikulum seharusnya tidak dibagi ke dalam bidang mata pelajaran yang bersifat membatasi dan tak wajar. Kurikulum mestinya lebih dibangun di unit[1]unit yang wajar yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang mendesak dan pengalaman-pengalaman siswa. Unit-unit studi yang spesifik mungkin bervariasi dari kelas 4 dan berikutnya, tapi ideanya adalah bahwa mata pelajaran sekolah yang tradisionil (seni, sejarah, matematika, membaca, dan lain-lain) dapat disusun ke dalam teknik problem solving yang berguna untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa untuk belajar materi-materi tradisionil sebagaimana mereka bekerja pada problemproblem atau isu-isu yang telah menarik mereka di dalam pengalaman sehari-hari (Istiqomah, dkk, 2022).
Mencermati berbagai pandangan pragmatisme tentang pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa banyak pandangan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh pragmatisme yang dapat disimpulkan bahwa pengalaman sebagai basis pendidikan yaitu pengalaman baru peserta didik diperoleh dari sekolah, baik yang dirancang maupun tidak. Metode pendidikan seharusnya berpusat pada memberi siswa banyak kebebasan memilih dalam mencari-cari situasi-situasi belajar berpengalaman yang akan menjadi paling bermakna baginya
Pragmatisme juga memiliki poin kunci yaitu "kebermanfaatan" seperti istilah:
is useful because it is true, it is true because it is useful.
Rujukan:
Hamdi, S. dkk. (2021). Mengelaborasi Sejarah Filsafat Barat dan Sumbangsih Pemikiran Para Tokohnya. Jurnal Pemikiran Islam. 1(2). 151-166.
Hidayat, N. (2021). Komparasi Filsafat Pendidikan Barat dan Pendidikan Islam.
Istiqomah, dkk, (2022). Implikasi Aliran Pragmatisme dalam Pendidikan. Media Penelitian pendidikan: Jurnal Penelitian dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran. 16 (2). 122-126.
Jurnal An-Nur: Kajian Pendidikan dan Ilmu Keislaman. 7(1). 202-215.
Kristiawan, M. (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice is Yours. Yogyakarta: Penerbit Valia Pustaka.