Ngomongin permasalahan relasi ortu dan anak, gak pernah akan kehabisan topik, new every morning, selalu fresh. Adaa aja.
"Jaman dulu ortu saya, bapak saya, ibu saya, nenek saya, gak gitu-gitu amat, pergaulannya masih sangat bla-bla, mainannya masih layangan, kelereng, petak umpet, main di kebon, bla-bla...."
"Dulu ortu gak pernah permasalahin anaknya kalo dihukum guru, sekarang dicubit dikit lapor polisi, kesenggol dikit lapor Komnas HAM"
"Dulu distraksi untuk anak-anak gak sebanyak sekarang. Gadget, jadi barang kesayangan semua kalangan..."
"Anak-anak sekarang koq susah banget dibilangin, ya.. ?"
Kalimat-kalimat itu lalu-lalang dalam sebuah obrolan yang ngebahas mengenai relasi anak dengan ortu di jaman ini.Â
Sebagian besar menyoal seputar bagaimana membangun komunikasi dengan mereka, anak-anak di masa kini dengan segala keberadaannya dan persoalannya. Sebagian bingung harus bagaimana menyikapi persoalan nilai di sekolah, yang juga bukan persoalan mudah. Topik berikutnya, bagaimana memberikan pengertian mengenai pacaran pada anak-anak di usia remaja, bila dilarang ataupun diijinkan sama-sama mengandung konsekuensi.
Gak mudah memang memberikan masukan dan saran untuk anak-anak di level usia remaja. Butuh banyak strategi dan cara yang selevel dengan mereka. Selalu-always, teori tak seindah kenyataan.
"Mereka belum pernah ada di usia kita, tapi kita sudah pernah di usia mereka. Kita yang harus mengerti dan masuk pola mereka yang udah berbeda jauh dengan jaman kita.." Sebuah kalimat sahabat memberi pemahaman baru.
Isi kepala kita sebagai orangtua menginginkan yang terbaik untuk mereka tetapi itu menurut versi kita, bukan mereka. Kadang memaksakan isi kepala kita pada mereka. Saya pribadi pelaku juga. Kesimpulannya, tidak bisa memaksakan isi otak kita pada mereka yang berbeda keinginan, berbeda kebutuhan.