Banyak sekali korban kasus-kasus KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) yang tidak bisa mengungkapkannya, sehingga hal ini menjadi masalah kronis yang menggerogoti kesehatan, baik secara fisik maupun mental korban. Dalam artikel ini, saya ingin memberikan fokus pada korban kekerasan perempuan dan anak.
Begitu banyak kasus KDRT yang terjadi di Indonesia. Data di tahun 2022 hingga Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan (data dari Simfoni PPPA) yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang. Kemudian, data menyajikan fakta  bahwa terjadi 7.940 kasus kekerasan fisik, 6.576 kasus kekerasan psikis, 2948 kasus kekerasan seksual, dan 2199 kasus penelantaran.
Data dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di tahun 2022 angka  kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus dengan 91% adalah kasus KDRT, korbannya adalah istri dan anak, dengan pelaku suami/ayah.
Demikian banyak kasus kekerasan yang terjadi. Kebanyakan kasus-kasus yang terungkap karena ada pelaporan dari pihak keluarga terdekat. Namun demikian tidak dapat dipungkiri juga, begitu banyak kasus kekerasan yang masih menjadi sebuah fenomena gunung es saja. Tidak terungkap. Sulit diungkap.
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali masih diasumsikan menjadi kasus privat di lingkungan masyarakat kita, sehingga seringkali hal ini menghentikan langkah pihak lain di luar rumah tangga tersebut untuk ikut campur dan melakukan pertolongan. Hal ini sering menjadi kendala yang sangat mendasar untuk mengusut kasus kekerasan. Kasus kekerasan bukan ranah privat.
Tetangga yang sering mendengar terjadinya keributan seolah enggan atau tidak berani melapor karena pertimbangan yang mendasar tersebut di atas. Padahal hal ini malah bisa mengakibatkan si tetangga dikenai jerat hukum juga.
Bukan hanya itu, korban juga seringkali tidak berdaya untuk mengungkapkan peristiwa yang menimpanya karena pertimbangan sosiologis, seperti reputasi, budaya patriarki yang kuat dimana perempuan tidak memiliki kekuatan di masyarakat. Ada juga ketakutan terhadap stigma janda apabila dilakukan gugatan cerai.
Kemudian, faktor ekonomi menjadi alasan yang berikutnya. Perempuan (istri) biasanya cukup tergantung dengan laki-laki (suami). Kekhawatiran terhadap faktor ekonomi inilah yang terkadang juga menyumbangkan faktor perempuan enggan untuk memberikan laporan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Begitu banyak hal yang merintangi pengungkapan kasus-kasus kekerasan yang terjadi terutama dalam rumah tangga, walau sudah ada undang-undangnya. UU Nomor 23 Tahun 2004 adalah Undang-undang mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Payung hukumnya sudah ada sejak 2004, namun demikian kasus kekerasan ini belum juga bisa dientaskan dengan baik. Kasus kekerasan juga mengalami peningkatan. Perlu banyak dukungan untuk bersama-sama menyuarakan suara keadilan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga ini.