Suatu kali saya melayani sebuah sesi pembelajaran layanan anak berkebutuhan khusus di sebuah daerah. Saat itu saya bertemu dengan anak berusia di atas 15 tahun.Â
Saya dikenalkan oleh seorang guru di daerah tersebut. Hari itu saya hanya merasa harus menolongnya tanpa tahu saya harus melakukan apa. Yang saya tahu, saat itu saya hanya merasakan harus berbuat sesuatu untuk anak ini.
Diskusi berulang kali terjadi dengan seorang dosen Fakultas Psikologi almamater saya. Memang harus diakui saat itu saya mengalami kegamangan, keraguan karena tidak punya pengalaman terhadap kasus yang diderita anak ini.Â
Beliau (dosen saya - red) mengatakan, memang tidak mudah menangani atau menstimulasi anak-anak berkebutuhan khusus yang usianya telah di atas 9 tahun. Bila harus dealing with, berarti harus ada upaya lebih besar yang dikerahkan.
Singkat kata, saya lakukan pembelajaran dengan anak ini. Proses itu tidak mudah memang. Hanya saja yang saya pertimbangkan anak ini cukup nyaman dengan pendekatan yang saya lakukan saat itu. Proses pembelajaran berlanjut, orangtua anak ini juga melakukan remedial teaching di rumah.
Ada kegamangan setelah sekian puluh sesi terapi dilakukan tidak kunjung ada perubahan signifikan. Perubahan yang tidak kunjung tiba ini saya bidik dari imitasi dalam terapi wicara. Saya teringat juga saat sesi webinar bersama komunitas forum diskusi Denpasar 12 yang hari itu mengangkat tema permasalahan penatalayanan penyakit langka. Ada Prof. Damayanti Rusli, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI. Beliau mengatakan mengenai stimulasi kuat dan konsistensi dalam tangani anak-anak yang mengalami gangguan tumbuh kembang.
Kami, saya dan orangtua terus melakukan dengan konsisten. Suatu saat ketika saya mengajar, anak ini mengeluarkan kata "dua", "ibu". Air mata saya mulai keluar, penantian dan harapan itu terjawab.
Eureka!!
Saya yang sangat rasional, hari itu dibuat baper abis. Anak ini bisa memproduksi kata dengan cukup jelas, dimana saat itu putus asa jelas menghantui saya.
Orangtuanya semakin semangat dalam mendampingi anaknya Tentu tidak ada yang ideal dan sempurna. Namun, ketika kita telah melakukan yang terbaik, ada sukacita tersendiri. Walau berangkat dari kondisi yang jauh dari kesempurnaan.
Saya teringat kisah JK Rowling, penulis sekuel Harry Potter yang berkali-kali naskah bukunya ditolak. Dan dia tidak "mutung" serta akhirnya mendapatkan reward dari perjuangannya.