Tidak akan ada sebuah rumah tangga yang bercita-bercita untuk bercerai. Saya yakin betul, bila opsi tersebut telah dipilih, maka itu adalah keputusan terbaik dari pilihan-pilihan yang paling buruk.
Mungkin kisah ini bisa terjadi pada siapa pun. Seorang yang memiliki dogma kuat terhadap agama, hidup terfokus pada hal-hal yang ideal, sanggup bertahan dalam relasi toksik selama belasan tahun atau lebih dari itu. Hari-hari dijalani dengan 'sukacita' semu. Namun demikian tetap memberikan senyum terbaik di balik luka yang menganga dalam kehidupannya.
Dogma agama yang menyatakan bahwa konsep 'rumah tangga' untung dan malang dimaknai dengan tidak semestinya. Mental abuse diterima sebagai  sebuah 'kenikmatan' dan bagian dari hidupnya. Mindset yang keliru dipelihara, dirawat hingga subur. Mindset itu lahir dari pola pikir yang merasa diri pantas dihukum dalam sebuah 'jebakan pemikirannya sendiri'
Kebahagiaan itu seolah tidak boleh diterimanya. Pernikahan dijalankan untuk sebuah kata 'formalitas'. Bukan hal yang 'memerdekakan' apalagi membahagiakan. Miris dan tragis, tapi itu terjadi. Hidup dalam kekerasan yang 'dinikmati' sebagai bentuk ketidakberdayaan terhadap situasi.Â
Buah keputusan bertahan dalam pernikahan tersebut adalah sebuah badai yang memporak-porandakan bangunan kepribadian masing-masing individu dalam pernikahan tersebut. Saling mengoyak dan memberi luka.
Menilik sebuah terminologi kesehatan mental, tentu hal itu 'menyedihkan'. Keduanya tentu tidak dapat memberikan pemenuhan kebutuhan tertinggi menurut Abraham Maslow, yakni aktualisasi diri.
Kesehatan mental acapkali berperang dengan pemahaman atau dogma agama yang dimaknai secara keliru.Â
Mengambil titik tengah menjadi sebuah acuan yang bijak. Sebuah sudut pandang yang mengedepankan sisi rasio dan afeksi secara seimbang tentu akan membidik sasarannya dengan tepat. Siapa sasaran tepatnya? Ya, manusia itu sendiri. Menjadi manusia utuh. Menerima dua sisi manusia secara utuh.
Tentu saja pilihan bercerai tidak boleh sembarang dilontarkan, namun demikian ketika yang terjadi adalah memberikan kesempatan hidup lebih baik tentu bisa menjadi sebuah rujukan. Sekali lagi, kesempatan hidup lebih baik bukan berarti semata-mata untuk sebuah kesenangan, tetapi lebih pada kesehatan mental individu-individu yang harus dijaga dan diupayakan.
Contohnya saja sebagai berikut. Â Seseorang yang mengalami banyak fase yang tidak mudah. Sebagai seorang perempuan tentu berharap diayomi oleh pria yang menjadi pilihan hidupnya saat itu, namun demikian hal itu hanya menjadi sebuah 'dongeng sebelum tidur' saja.