Sebentar saja
tolong pelankan langkahmu,
tengok ceruk di sampingmu itu, dia haus
minta diisi oleh cerita harimu.
Katakan beberapa penggal jelajahmu, (kala serunai itu kehilangan tuannya)
kemanakah dia pergi untuk memulai jejaknya?
Serunai bersua Zeno,
memadu kasih dengan kemalangan sekadarnya, Â Â Â Â Â Â
membebas belenggu kendali.
Berkelakar dengan Freud,
bermain dengan aeteologi dan unconscious
tenggelam dalam bayang masa lalu sebentar,
bukan untuk mengorek sesuatu yang telah kering,
bukan....
Adler melambaikan tangan,
"Mampirlah sejenak", katanya..
Dia suguhkan individu dalam wujud inferior,
jelaslah..
mana ada bayi yang digdaya?
semua pun tak berdaya..
Dia menutup pintu rumah Adler,
tak dinyana,
Pavlov serta Skinner menyeringai di tepian jalan.
Membersamai langkahnya,
mereka berbisik,
pengulangan stimulus-respon terus menerus,
tentu melahirkan konsekuensi  perilaku.
Serunai menutup telinganya, ramai sekali...
"Aku pamit..."
"Langkahku kian ringan..."
Menghitung setapak demi setapak,
bayangan tarian ilalang tersapu,
tergantikan oleh terik rona lembayung mentari di ujung senja.
Bisikan sengau bulir jelai,
hendak sampaikan pesan,
ketenangan kau genggam
jika kau berhenti berlari...
Atma itu kutemukan kembali,
dalam tenang dan teduh,
dalam diam dan sepi,
dalam raga ini.
Ceruk itu kini datar,
terisi cerita bermakna,
dari serunai sang pemenang.
Kuakhiri ceritaku....
21.02.2023, untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H