Tania, seorang penyintas KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) itu pernah menjelaskan kondisi kepribadiannya paska perceraian rumah tangganya terjadi. Menjadi pribadi yang cenderung menarik diri, kehilangan kepercayaan diri akut, dan masih banyak lagi ciri lain dalam dirinya. Dia juga sempat mengatakan bahwa memutuskan bercerai dengan sang suami bukan hal mudah. Kondisi Tania juga banyak dialami oleh penyintas kekerasan lainnya.Â
Takut melapor atau melapor tetapi tidak direspon dengan baik oleh lingkungan di sekelilingnya pernah dialami Tania. Tania bertahun-tahun kehilangan self-love dalam dirinya. Merasa pantas mendapatkan semua perlakuan kasar, low self-esteem!Â
Korban kekerasan seperti Tania menganggap kekerasan itu adalah sebuah aib yang harus ditutupi. Muncul perasaan inferior yang terjadi bertahun-tahun dan tidak berharga sebagai seorang perempuan.
Tingkat eskalasi akan semakin meluas bila hal ini dibiarkan. Ada seorang kawan yang bercerita, ketika dia mendapatkan kekerasan dari suami dia berkeluh kesah pada kakak iparnya tetapi kakak iparnya hanya menanggapi, "ah itu biasa, gak apa-apa, baru seperti itu..!" Kalimat yang dilontarkan oleh kakak ipar kawan ini sungguh tidak tepat. Alih-alih menolong, malah membuat kawan ini menjadi lebih menarik diri.
Ada 4 kriteria KDRT dalam UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, pasal 10: Kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan verbal termasuk dalam ranah KDRT yang harus dicermati oleh kita sebagai sesama warga.Â
Apakah harus menunggu korban hingga cedera parah baru kita tersadar untuk mengulurkan tangan kita menolong. Kekerasan psikis juga merupakan ranah kekerasan dalam rumah tangga yang harus diwaspadai.
Membangun self-love menjadi penting paska 'rekonsiliasi diri korban'. Cinta diri (self-love) merupakan hal dasar yang harus diperjuangkan oleh penyintas kekerasan. Memberikan sebuah penghargaan pada diri sendiri merupakan sebuah kemutlakan.Â
Menerapkan self-love dengan benar akan membuat citra diri positif dan lebih menghargai kesehatan diri sendiri, baik mental maupun fisik. Depresi, gangguan kecemasan, dan stres paska trauma adalah tanda vital yang biasa ditunjukkan oleh penyintas.
Tidak mudah membalikkan sebuah kondisi seperti ini, namun demikian, upaya-upaya sehat ini harus terus diupayakan baik oleh diri-sendiri maupun support system yang mendukung.Â
Self-love menjadi komponen penting self-healing penyintas kekerasan. Diri sendiri merupakan kunci penting. Bukan orang lain yang dapat membalikkan keadaan, tetapi mereka juga membutuhkan orang lain untuk menjadi 'pasukan' yang siap menolong.
Self-love, bagaimana memunculkannya?Â
Tentu harus disadari penuh oleh para penyintas. Hal ini adalah bagian terpenting untuk sembuh! MENERIMA dan MENYADARI sepenuhnya bahwa kondisi itu bisa menjadi titik balik berdamai dengan diri sendiri.Â
Memaknai positif setiap hal dan melakukan hal-hal yang menyenangkan, menyehatkan, dan mendukung kesehatan mental diri.
Melakukan hal-hal yang membangun diri sendiri juga penting. Mengejar impian dan cita-cita menjadi sebuah rangkaian indah memulai babak baru bagi para penyintas.Â
Hidup yang berdaya paska pengalaman tersebut akan mampu mengubah air mata menjadi mata air bagi sesama yang juga mengalami pengalaman serupa.Â
Memberikan edukasi dan literasi bagi mereka yang pernah mengalami hal serupa akan menguatkan dan menjadi sebuah stress-release yang sehat bagi para penyintas.
Menjaga kesehatan mental kita menjadi sebuah keharusan. Cintailah diri kita yang sangat berharga ini, kawan..
Jangan takut, kalian tidak sendiri! We love you - we stand for...
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H