Suatu waktu, saya dan orangtua dari anak yang saya dampingi ngobrol santai. Ibu ini berupaya untuk memberikan teguran pada saya terkait pendampingan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) yang saya lakukan, tapi takut-takut gemes, hehe, maklum saya pernah dapet stempel guru galak!
Gak berapa lama, kondisi mulai mencair, ibu ini sedikit demi sedikit mengutarakan maksud dan tujuannya pada saya. Saya tertegun sejenak, tapi gak kaget-kaget amat juga, sih. Udah banyak sebenernya yang mengingatkan tentang 'idealisme' saya itu.
Saya mendapatkan insight positif dari ibu anak ini. "Bu Nita, gak bisa memaksakan anak saya, dia ya memang begitu, kalo dipaksa dia akan nangis dan gak mood berhari-hari," teguran itu membawa pada sebuah kesadaran, saya harus kembali ke jalan yang tepat lagi. Mekanisme kunci dan anak kunci... Input yang baik.
Ekspektasi versus realita di lapangan, memang sebuah kondisi yang sulit berdamai hehe.Â
Saya sebagai guru pendamping yang terlibat dalam proses terapeutik ABK, terkadang memiliki target-target ideal yang saya hidupi, dan itu menjadi sebuah bahaya besar, baik untuk kesehatan mental saya sendiri, si ABK, maupun keluarganya.
Karakteristik tiap ABK tentu tidak sama, mereka memiliki 'chore'-nya sendiri. Suatu ketika saya mengarahkan mereka sesuai dengan harapan-harapan, target-target saya, saya mengkhianati prinsip merdeka belajar yang saya anut.Â
Saya bersyukur di sela-sela obrolan santai itu saya ditegur, dan teguran itu langsung dari orangtua. Mereka yang terlibat langsung dalam proses-proses pendidikan, dan kehidupan dalam keluarga.
Ekspektasi tentu penting, tetapi ketika ekspektasi itu mengubah proses dan menuntut proses yang sedang berjalan, tentu ekspektasi ini akan menjadi bumerang yang merusak, daya rusaknya juga akan memengaruhi proses terapeutik itu sendiri serta kehidupan orang-orang yang terlibat di sana.
Mendampingi ABK bukan hal mudah, hal ini tentu bisa ditanyakan pada mereka, ortu-ortu hebat yang telah menghidupnya. Dalam artikel saya sebelumnya, saya juga telah menyinggung bahwa sekecil apapun kemajuan atau kondisi yang sebaliknya harus tetap dimaknai sebagai sebuah PROSES.
Bukan tidak boleh memasang target-target tertentu dalam program terapeutik ABK, hanya saja ketika target tersebut (a.k.a ekspektasi) tidak tercapai, jangan sampai hal itu merusak diri kita, sehingga mungkin saja kita menjadi kehilangan energi dan kacau akhirnya.
Melepas ekspektasi itu memang tidak mudah, perlu proses juga. MENERIMA menjadi sebuah kondisi yang akan memberikan efek yang lebih ringan dalam menyikapinya.
Memberikan porsi ekspektasi sama besar dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi membuat kita lebih terbuka, dan memungkinkan kita untuk tetap melakukan upaya-upaya lain dalam mengembangkan proses terapeutik itu sendiri. Rasanya pas ketika, tagline belajar itu sepanjang hayat -- dalam konteks ini.
Tetap semangat dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H