Berani tidak disukai?
Kalimat ini menjadi sebuah diskusi batin beberapa waktu terakhir terkait proses pendidikan yang pernah saya alami beberapa tahun lalu.Â
Bukan merasa diri paling benar dan mengklaim pihak lain salah - bukan sama sekali, tetapi hanya ingin memberikan peneguhan pada diri sendiri mengenai apa sih proses pendidikan itu sebenarnya? Evaluasi diri dan terus berbenah rasanya pas.
Sebuah pengalaman pernah saya petik bersama dengan seorang kawan yang juga berprofesi sebagai seorang guru. Dia juga sepemahaman dengan konsep yang saya anut. Ada waktu-waktu di mana pilihan-pilihan keputusan dalam mendidik menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Ingin disukai dengan melacurkan 'prinsip pendidikan yang benar'?
Ingin menarik simpati dan melupakan prinsip pendidikan itu sendiri?
Takut tidak populer di mata siswa dengan melakukan irama-irama kesalahan dalam mendidik?
Apakah bisa tetap jujur pada prinsip pendidikan walau dengan konsekuensi logis tidak disukai siswa?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sebuah perenungan yang dalam akhir-akhir ini. Apakah benar proses pendidikan itu layaknya marshmello yang selalu lembut, manis, dan menyenangkan?
Ternyata tidak!
Suatu saat ada seorang siswa yang mengatakan kata-kata tidak sopan pada rekan sejawat. Saya tahu saat itu saya akan menghadapi risiko yang tidak mudah untuk menegurnya, tetapi hati nurani mengatakan bahwa teguran merupakan mekanisme yang harus saya lakukan dengan segera.
Saya menegur dengan keras, walau saya akui bahwa teguran keras itu menjadi bahan koreksi buat saya. Saya bisa melakukannya dengan lebih bijak. Hari berikutnya saya harus berhadapan dengan orangtua siswa yang saya tegur itu.
Hari itu menjadi hari bersejarah. Melatih sebuah makna bijaksana dalam melakukan proses pendidikan, benar-benar pelajaran berharga untuk saya.