Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel - Bagian Pertama] Rajutan Kisah "Azalea" di Musim Itu

7 Oktober 2021   13:34 Diperbarui: 9 Oktober 2021   16:43 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hai, Mit.." Tangan kekar lelaki itu diulurkan meminta disambut. Keduanya berjalan beriringan, masih saling takjub.

Sekilas, wajah lembut itu menghiasi lamunan Paramita Andini, wajah itu seperti mengejar dan menyesaki tiap slot memorinya. Wajah lembut seorang ayah yang telah meninggalkan Paramita untuk selama-lamanya.
"Woyy, ngelamun aja..!" Lamunan Paramita buyar setelah Vino Pradipta, sahabatnya mengacak-acak kasar rambutnya.  "Aduuuuhh! Mita, gila lo, ya...!" Balasan setimpal diterima Vino, tas laptop milik Paramita yang tidak berisi melayang dan sukses mendarat di dahinya.

Suasana dingin serta hening di kedai sederhana sebelah rumah sakit daerah itu tiba-tiba menghangat setelah keduanya melanjutkan obrolan di sela-sela waktu makan siang mereka. Vino dan Paramita telah bersahabat sejak mereka disatukan dalam pertemuan nasional komunitas pecinta alam. Mereka memutuskan bersama-sama masuk di fakultas kedokteran di kota yang berbeda. Mereka kembali dipertemukan saat menjalani masa internship 3 bulan lalu.

"Vin, aku besok mau pulang ke Prawirotaman. Turangga, 16.30 dari Pasar Turi."
"Mau gue anter?" Vino menawarkan bantuan untuk mengantar Paramita esok sore ke stasiun Pasar Turi.
"Gak usah, Vin, kayak bayi aja..."

"Fine, ati-ati, Mit. Salam untuk Ibu." 

Keduanya kemudian melangkah ke arah yang berbeda, Paramita masuk ke bangunan cozy yang tak begitu besar dengan pemandangan bunga-bunga kertas yang beraneka warna di bagian depannya, sementara Vino jalan memutar karena kost-nya berada di deretan belakang komplek perumahan tersebut.

Di atas Turangga, 16.00 WIB

Atomic Habits-nya James Clear telah siap di depan pangkuan Paramita. Bola mata hitamnya menyapu ke segala area di gerbong 2 kereta yang akan mengantarnya berjumpa dengan wanita yang sangat dikasihinya, Ibu Sasanti. Aroma "Mie Lethek" yang sudah dirindukannya telah berhasil membuatnya ingin sesegera mungkin menjejakkan kaki di kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar itu, kota yang memberi sejuta kenangan indah.

Keluarga, persahabatan, hingga pengalaman, lekat sekali dengan kota penuh pesona itu. Sejuta tawa hadir di antara sejumlah momen yang juga membuatnya meneteskan air mata. Suka-duka hadir mewarnau hidup Paramita di kota ini, termasuk saat lelaki hebat yang paling berarti dalam hidupnya, meninggalkan Paramita Andini, kakak, serta Ibu Sasanti untuk selama-lamanya.

Dua buah roti bun beraroma cappuccino dan air mineral telah menjadi teman perjalanan yang setia sang dokter internship sejak dari Surabaya. Kerinduan pada kampung halamannya itu sangat berhasil membawanya pulang. Di sudut gerbong 2 itu ada sepasang mata yang sejak tadi memerhatikan gerak-gerik Paramita, sepasang mata teduh yang selalu mendoakannya, walau dari jauh, jauh sekali.

Kurang dari pukul setengah 10 malam waktu Yogyakarta, kuda besi berlabel Turangga itu berhenti di Stasiun Tugu. Paramita bergegas mencari bu Eka, tukang ojek yang telah dipesannya sejak dari Surabaya beberapa waktu lalu. Mata dan tangannya asyik fokus dengan gawai untuk menghubungi bu Eka, nemun belum  berhasil menghubungi, tiba-tiba, tepukan lembut mengagetkannya. "Butuh ojek, Mbak?" Sapaan lembut dengan khas suara baritone itu tiba-tiba berhasil mengalihkan konsentrasinya Paramita Andini. "Woooyyyy, Brooo!" pekik kaget itu hampir membuat orang-orang yang lalu-lalang menolehkan kepalanya ke  arah dokter muda imut itu.

"Ih, ngapain di sini?" Suara Paramita tercekat menahan kekagetannya saat berjumpa dengan sosok laki-laki yang sangat lekat di hidupnya itu. Seorang pria yang pernah mengisi kehidupannya beberapa waktu lalu, yang mengenalkan passion dan kecintaannya pada masalah-masalah kemanusiaan.

Seseorang yang selalu mengingatkan, bahwa hidup tidak sepenuhnya dihidupi untuk diri sendiri tetapi juga berbagi kepada sesama. Bahwa benar tiap manusia memiliki luka, tapi tidak perlu terlarut untuk berkubang di dalamnya. Bahwa benar tiap manusia harus berjuang untuk hidupnya tapi juga harus bisa rela melepaskan sesuatu yang memang harus dilepas juga. Anka Adrian, seorang instruktur senior klub SCUBA Diving.

"Hai, Mit.." Tangan kekar lelaki itu diulurkan untuk meminta disambut. Keduanya berjalan beriringan, masih saling takjub. Keduanya terdiam namun terhubung secara batin, spiritual connected! Azalea ikut bergoyang menyaksikan keduanya berjalan dengan terdiam.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun