Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Singkirkan Ketakutan Berlebihan Orangtua agar Hak Pendidikan Anak Perempuan Tidak Terpasung

13 April 2021   09:26 Diperbarui: 13 April 2021   09:54 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Artikel : Anak Perempuan yang telah menyelesaikan studinya/Sumber : Unsplash.com (Andre Hunter)

Seorang siswi SMA di sebuah daerah sejuk mendadak berhenti berucap dan menundukkan kepalanya, saat saya bertanya mengenai keinginannya untuk melanjutkan kuliah setelah menyelesaikan jenjang di tingkat pendidikan SMA.

Awalnya dia masih antusias dengan mengatakan keinginan terbesarnya untuk masuk dan bergabung pada Fakultas Seni dan Karawitan di Universitas Negeri Semarang. Obrolan berlangsung dengan sedikit menegang, saat saya bertanya persiapan kuliahnya kelak, karena siswi yang berparas cantik ini sudah ada pada jenjang kelas 12.

Siswi cantik ini lantas menjawab dengan mata berkaca-kaca. “Tidak tahu, Bu Nita, besok saya diijinkan kuliah atau tidak! Saat saya study tour saja, Bapak dan Ibu saya selalu menghubungi saya via handphone saking khawatir beliau sehingga selalu menanyakan kapan saya pulang…”

Saya tertegun sejenak mendengar jawabannya. Membandingkan dengan kedua orang tua saya yang memang memiliki riwayat merantau sejak beliau berdua muda, yang akhirnya merelakan serta mengijinkan saya juga untuk kuliah di luar kota, karena saat itu di Kota Cirebon belum ada kampus yang sesuai dengan pilihan jurusan studi saya.

Mempersiapkan mental orang tua untuk memberi kesempatan anak dalam berjuang mencapai cita-cita merupakan hal penting. Ketakutan yang berlebihan terkadang membuat orang tua akan memiliki rasa khawatir dan berujung pada pemberian batasan yang terkadang tidak masuk akal.

Dalam sebuah artikel edukatif mengenai materi parenting yang ditulis oleh Lisa Heffernan di dalam Today.com, orang tua harus mempersiapkan betul masa-masa transisi ini, dimana anak-anak mereka lambat-laun pasti akan meninggalkan mereka untuk menuntut ilmu di jenjang pendidikan lanjutan yang lebih tinggi lagi, yang kemungkinan besar di luar daerah mereka tinggal.

Kecemasan dan ketakutan karena kehilangan momen-momen menyenangkan, dan bonding yang telah tercipta sejak masa kelahiran anak-anak mereka tentu bisa menjadi pemicu alasan beratnya melepaskan anak-anak tersebut. Tetapi tentu saja hal itu tidak boleh menjadi rintangan yang membatasi anak-anak dalam menempuh jenjang pendidikan yang selanjutnya.

Orang tua perlu sekali mengantisipasi hal ini jauh-jauh hari agar anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik untuk bekal masa depan mereka di kemudian hari. Toh, memang sejatinya kita semua tidak akan bersama selamanya. Anak-anak pun harus belajar mandiri seiring dengan tanggung jawab mereka yang semakin besar selepas tidak bersama dengan orang tua.

Dengan jarak tersebut, anak-anak diharapkan bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan bertanggung jawab dan bisa melanjutkan tongkat estafet tanggung jawab yang ada di pundak mereka.

Jika dicermati, orang tua sebenarnya hanya tidak ingin kehilangan komunikasi, relasi, silaturahmi, dengan anak-anak mereka saat anak-anak tersebut melanjutkan kehidupan pendidikan lanjutannya.

Banyak sekali hal yang bisa dilakukan agar momen kebersamaan itu tidak hilang, apalagi di era sekarang, dimana teknologi dalam berkomunikasi sudah bukan barang awam lagi.

Fasilitas zoom, g-meet, skype, video call, sudah bisa menyambungkan silaturahmi. Yang jauh bisa dekat dengan bantuan teknologi.

Memberikan mereka peluang untuk berkembang dalam mencapai cita-cita bukan hal yang salah. Orang tua harus berani juga untuk melepaskan zona nyaman mereka. Dengan cara melawan rasa takut kehilangan intensitas komunikasi, relasi dengan anak-anak mereka. Hidup ini harus terus berkembang sehingga perubahan baik bisa didapatkan oleh generasi-generasi penerus bangsa.

Mother Theresa tidak akan menjadi dampak bagi dunia, jika dia tidak bergerak keluar dari tempat asalnya yang merupakan anak bangsawan Yunani untuk menjadi penyelamat orang-orang miskin yang dilayaninya di India. Ibu Susi Pudjiastuti tidak akan memberi warna baik bagi bangsa ini jika dia tidak bergerak keluar dari daerah asalnya untuk berjuang dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Raden Ajeng Kartini, tidak akan menjadi tokoh besar dalam memperjuangkan emansipasi wanita jika keinginan kuat itu tidak diikuti dengan tindakan nyata dimana keluarga besarnya juga kurang bisa mendukung cita-citanya tersebut. Angkie Yudistia tidak berfokus pada kelemahannya dan justru membangun komunitas baik agar semakin banyak orang yang bisa memiliki masa depan terkait anak-anak disabilitas.

Banyak contoh lain yang bisa menjadi penguat kita para orang tua, agar merelakan dan mempersiapkan mental saat harus melepas anak-anak dalam melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Anak-anak perempuan pun wajib dan mutlak mendapatkan pendidikan terbaik, karena di tangan merekalah lahir generasi-generasi penerus yang akan membawa dampak positif dan perubahan baik sebuah peradaban.

Semoga bermanfaat.

Referensi : satu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun