Berkaca dari sebuah pengalaman, beberapa kesalahpahaman terjadi manakala guru memberi teguran disiplin pada sejumlah siswa yang memiliki karakter yang kurang baik.
Teguran guru terhadap siswa terkadang tidak mudah diterima oleh orangtua. Teguran tersebut tidak jarang menjadi sebuah dilema dan menjadi masalah baru. Tentu hal ini tidak terjadi pada semua sekolah.
Sekolah merupakan sebuah institusi, di mana institusi ini merupakan sebuah lembaga yang tentu saja memiliki sejumlah peraturan yang dipastikan berbeda dari peraturan yang ada di lingkup keluarga siswa.
Siswa dan siswi yang belajar di sekolah diwajibkan mengikuti sejumlah peraturan yang diberlakukan. Jika melanggar akan ada risiko yang mengenainya.
Penegakan peraturan di sekolah tidak berjalan mulus-mulus saja. Pelanggaran bisa terjadi, salah satu faktornya disebabkan karena masalah-masalah seputar pemanjaan ini.
Masalah pemanjaan menjadi sebuah kendala dalam menegakkan peraturan dan disiplin siswa-siswi. Hal ini bukan semata untuk mencari kambing hitam tetapi lebih dari itu, untuk memberikan sebuah pola karakter yang baik untuk siswa-siswi tersebut.
Tak dapat dihindari, masalah pemanjaan ini membuat guru dan orangtua harus bertemu dan berdiskusi guna mencari jalan keluar.
Mengapa orangtua harus dilibatkan? Karena masalah pemanjaan terkait erat dengan pola asuh orangtua di dalam lini keluarga maupun nilai-nilai yang diberikan.
Dilema yang muncul justru ketika saya dan rekan-rekan guru hanya memiliki seperangkat teori mengenai pola asuh maupun parenting, karena kebanyakan dari kami masih berusia relatif muda serta belum cukup pengalaman praktis menjadi orangtua.
Beberapa di antara kami adalah keluarga muda, beberapa yang lain masih dalam proses menuju pernikahan, dan ada juga beberapa kawan yang masih melajang.
Rasa tidak nyaman atau tidak enak untuk memberi sejumlah masukan sering membayangi kami para pendidik untuk menyampaikan permasalahan seputar pola pengasuhan yang menggiring pada timbulnya sikap dan perilaku manja pada anak-anak mereka.