Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Gratias

-semua karena anugerahNya- Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Malaikat Itu yang Jadi Juaranya

2 Desember 2020   13:50 Diperbarui: 2 Desember 2020   14:11 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Malaikat juga tahu aku kan jadi juaranya….”

Tahun 2003 adalah tahun yang sangat bersejarah bagi saya pribadi. Tahun ini adalah tahun dimana pertama kali saya masuk dalam dunia yang sangat istimewa.

Saya berkesempatan berkiprah secara nyata dalam dunia anak-anak. Saya mengalami transisi yang mengubah cara pandang hidup. Setelah lulus dari fakultas Psikologi saya diberikan kesempatan langsung untuk menekuni bidang terapi anak-anak berkebutuhan khusus, tepatnya di kota Semarang.

Sebuah cita-cita untuk menekuni Psikologi dengan major Klinis Anak langsung diberikan melalui pelayanan terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tuhan memberi kesempatan untuk menghadapi 'lapangan-nya' secara live dan bukan sekedar teori belaka.

1 tahun saya digembleng untuk menangani beberapa rumpun gangguan terkait kesehatan mental anak. Pelajaran berharga saya dapatkan dalam rentang waktu kurang lebih 12 bulan.

Mulai terkaget-kaget dengan fenomena yang saya dapati. Kurang lebih teori Psikologi saya dapatkan di bangku kuliah selama 3,5 tahun tetapi fenomena yang saya dapati dalam ‘lapangan’ ini benar-benar agak membuat mata saya tercelik. Welcome to the jungle!

Malaikat-malaikat kecil yang sangat menakjubkan didatangkan untuk menempa kesabaran dan skill ‘psikologis’ saya saat itu.

Ada beberapa pengalaman yang bisa saya katakan sekarang sebagai pengalaman yang sangat mengesankan, dan ini merupakan salah satu pengalaman terbaik selama hidup saya.

Ada seorang anak berkebutuhan khusus berusia 3 tahun berjenis kelamin laki-laki. Saat itu adalah saat sesi terapi anak ini bersama saya di sebuah ruangan khusus. Anak ini didiagnosa oleh Psikolog dan Dokter Anak mengalami ASD (Autism Spectrum Disorder), sebuah rumpun dalam gangguan perilaku yang masuk dalam gangguan pervasif.

Anak ini belum dapat berkomunikasi secara verbal. Hanya beberapa gesture tubuh dan kata-kata yang mampu dikeluarkannya. 

Suatu hari itu dia nampak lesu dan mengantuk. Saat itu terapi perilaku sedang berlangsung, saat materi sedang berjalan tiba-tiba anak ini memukul wajah saya dengan sangat keras dan tak terduga. Setelah itu dia pun tertawa puas.

Hidung dan mata saya terasa sakit bukan kepalang, sesaat pusing mendera. Saya hanya bisa memejamkan mata dan menahan rasa sakit.  Setelah saya dapat mengendalikan rasa sakit itu, kemudian saya memberi teguran sesuai dengan standar pengajaran yang harus saya lakukan.

Di kesempatan lain anak yang sama menggigit punggung saya dengan sangat keras, seolah giginya terasa menancap kuat saat itu di daging punggung menembus seragam kerja berbahan drill yang saya kenakan.

Secara spontan saya berlari meninggalkan anak tersebut menuju toilet dan menangis, seraya melihat bagian punggung di cermin yang tersedia di toilet tersebut. Teman-teman sesama terapis mengetuk pintu toilet dengan kencang dan menanyakan apakah saya baik-baik saja.

Keesokan harinya, pada saat jam yang sama, anak ini saya peluk, dan tanpa saya duga tangannya mengelus pipi kanan saya seolah mau mengatakan, “maafkan aku, Bu Nita.”

“Tidak apa-apa , Nak, ini proses untuk kita berdua. Bu Nita pun belajar banyak untuk memahamimu.”

*

Tak hanya di situ tempaan dan gemblengan untuk saya. Kesabaran saya kembali diuji melihat anak yang tantrum saat mendampingi terapis senior di ruangan okupasi. Saya melihatnya dan tak terasa air mata menetes.

Kesabaran saya terus menerus dilatih melalui bidang pekerjaan ini.

Bergelut dengan bidang pekerjaan ini tidak selalu mudah. Kami harus memiliki katarsis yang menyeimbangkan agar ‘kewarasan’ tetap bisa dipegang.

Bersyukur sekali saya bisa menangkap banyak ‘pesan’ yang dititipkan melalui ranah pekerjaan ini. Diantaranya mengenal sisi lain dari pekerjaan yang kemudian akan saya tekuni dalam setengah rentang karir saya.

Pesan-pesan itu diantaranya :

1. Tempaan kesabaran tak berbatas yang saya pelajari melalui hadirnya malaikat-malaikat kecil tersebut

2. Bekerja tidak melulu hanya berorientasi pada uang

3. Menjadi seorang terapis berarti dengan rela menjadi ‘penolong’ sepenuhnya bagi anak-anak dan juga orang tua mereka

Tidak jarang saya mendengarkan curahan hati  orang tua malaikat-malaikat kecil ini. Ini merupakan bagian terberat sebenarnya.

Saat itu saya masih lajang dan berusia di bawah 25 tahun. Belum berkeluarga.

Mendengarkan kisah hidup mereka yang terkadang tak dipungkiri mampu membuat air mata ini jatuh menetes.

Pernyataan yang saya masih ingat hingga saat ini yang saya pernah katakan untuk menguatkan mereka, “Ibu adalah wanita terpilih dalam pandangan Tuhan untuk melakoni hidup istimewa, untuk mendampingi malaikat-malaikat ini..”

Saya selalu mengaminkan perkataan saya ini. Benar sekali bahwa orang tua dari malaikat-malaikat kecil ini adalah orang-orang terpilih yang hebat dan mampu menjalani kehidupan istimewa yang Tuhan berikan.

Belum tentu saya mampu dan kuat jika diberi kesempatan yang sama.

Saya memberikan apresiasi tertinggi untuk mereka semua. 

Saat itu sekitar tahun 2005-2007, kami banyak berdiskusi dengan teman-teman dalam komunitas PSG (Parents Support Group) kala itu dalam memperjuangkan kuota 1% bagi rekan-rekan penyandang difabel untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam profesi dan lingkup pekerjaan di dalam perusahaan. Ini adalah sebuah tujuan besar yang saat ini lambat-laun telah mendapat respon walau belum sepenuhnya.

Skill mereka  dalam bidang keterampilan spesifik mampu melampaui rekan-rekan non penyandang difabel.

Saya menjumpai beberapa anak-anak yang kualitas lukisan-nya di atas rata-rata. Skill melukis yang hebat ini saya temukan pada diri seorang anak laki-laki di Kota Yogyakarta. Lukisan anak ini juga dijual hingga ke Negeri Kincir Angin.

Ada juga yang sangat mahir dalam dunia matematika. Dan masih banyak keterampilan lain yang dikuasai oleh malaikat-malaikat kecil ini.

Dalam sebuah perenungan, saya menyatakan, malaikat-malaikat ini adalah individu luar biasa yang Tuhan ciptakan justru untuk melampaui kita semua.

Mereka dihadirkan untuk mendatangkan kebaikan dan mewarnai kehidupan dengan cinta kasih tulus.

Dunia yang harus dipahami oleh kita, dunia yang harus diayomi oleh kita. Keberadaan mereka…

Sepakat dengan akhir dari lagu Dewi Lestari ini..

“Malaikat juga tahu aku kan jadi juaranya….”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun