Sebuah kenyataan paling pahit yang pernah saya rasakan sepanjang hidup saya adalah kehilangan orang yang saya kasihi untuk selama-lamanya.
Beliau adalah Ayah saya. Butuh waktu yang gak sebentar untuk “MENERIMA” kenyataan ini. Butuh perjuangan yang sangat keras untuk bisa kembali “move on”.
Lima tahapan penerimaan terhadap situasi dukacita yang dicetuskan pertama kali oleh Elizabeth Kubler-Ross, seorang psikiater wanita kelahiran Swiss, terjadi pada diri saya.
Proses penyangkalan, kemarahan, negoisasi, dan yang terburuk adalah depresi, sampai pada tahap penerimaan, saya lalui.
Tak mudah dan sangat berliku.
Bagaimana tidak? Beliau yang saya kasihi meninggalkan jejak teladan dan banyak jejak kebaikan yang sangat melekat kuat dalam kehidupan saya pribadi. Semua hal yang manis dan yang baik saja yang diberikan beliau. Sebuah kehilangan dashyat, saya alami.
Saat saya mengalami keempat hal tahapan Ross tersebut, saya tidak menyadarinya.
Berikut beberapa contoh yang dapat saya bagikan :
Contoh yang pertama, saat saya pulang ke kampung halaman, seringkali saya melakukan selfie bahkan wefie, di pusara Ayah, tetapi dengan ekspresi emosi yang kontradiktif.
Komplek pemakaman Sasono Mulyo, menjadi tempat persinggahan yang menyenangkan bagi saya saat itu. Padahal saya tidak suka pergi ke pemakaman. Hal yang menakutkan, sebelumnya, apalagi pergi sendiri ke makam.
Ketika rindu sering sekali saya mengunjunginya dan bercakap-cakap, dan tentu saja menangis. Saya lakukan seorang diri saja.