Terlibat dalam dunia bimbingan dan konseling di sekolah membawa pada sejumlah kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak hanya membutuhkan siraman pengetahuan belaka. Banyak di antaranya membutuhkan “pelukan” dan perhatian.
Sebagian siswa mengalami minder, depresi ringan, kurang perhatian dan kasih sayang dari keluarga, pengabaian, dan sebagainya.
Siswa yang mengalami hal ini sebagian besar terlihat mencari pemuasan di sekolah. Cara-cara unik diperlihatkan untuk memperoleh apa yang tidak mereka dapat di rumah (keluarga).
Bukan hal yang mudah untuk menyibak tabir (masalah) yang terjadi pada mereka. Merangkul dengan hati menjadi salah satu cara menjangkaunya.
Remaja merupakan sebuah level perkembangan individu yang banyak mengalami gejolak dalam kehidupannya. Pencarian jati diri membawa mereka akan pentingnya sebuah pengakuan.
Sebutan “trouble maker” pada diri seorang siswa, sering saya artikan siswa yang membutuhkan sentuhan kasih sayang yang pengamatan saya tidak didapatkan dalam keluarganya.
Siswa yang mengalami krisis kepercayaan diri, kerap mengalami “cemooh” atau kritik yang tidak membangun sehingga hal ini mengakibatkan siswa memiliki persepsi bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan apapun.
Permasalahan di atas memerlukan pendekatan yang tidak formal, pendekatan ini berfungsi untuk mengurai masalah yang terjadi pada siswa. Sudut pandang siswa dalam melihat masalah yang dihadapi harus menjadi dasar dalam memahami mereka.
Menghakimi mereka dari kacamata kita sebagai guru di sekolah tidak hanya menambah keruwetan masalah, dan justru hanya menambah kusutnya masalah yang dihadapi.
Hal-hal berikut bisa menjadi sebuah panduan untuk menyelami dan memberi pencerahan ketika menghadapi problematika siswa di sekolah: