Rencana pemerintah dalam memberikan subsidi pulsa pada siswa dan tenaga pengajar seperti yang dilansir dari Kompas.com (13/08/2020), bisa jadi membantu, walau tak menyelesaikan akar masalah.Â
Namun demikian ide pemerintah ini, tak perlu juga disikapi dengan nyinyir.Â
Menyisir persoalan yang diakibatkan pandemi tentu amat banyak. Pandemi yang datang tanpa diundang ini, menyisakan dan menguak tabir masalah yang tak sederhana.Â
Tak hanya area pendidikan, area lain pun bernasib sama. Bisnis, pariwisata, perdagangan, dan lain sebagainya. Banyak area yang kemudian bertransformasi menjadi area-area yang harus legowo merangkul digitalisasi.
Area pendidikan terimbas pandemi. PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dipilih sebagai suatu alternatif pembelajaran dalam lingkup pendidikan nasional. Banyak sekolah yang siap, tapi juga banyak sekolah yang belum siap dengan hal ini. Kendala tentu banyak, karena hal ini terjadi di luar "skenario".  Namanya juga bencana, tak ada yang meminta datangnya.
Permasalahan PJJ terurai satu per satu.
Mulai dari ketidaksiapan sekolah dalam hal fasilitas digital, ketidaksiapan tenaga pendidik terkait keterampilan digital, masalah pendampingan orang tua, mahalnya kuota, Â siswa yang tidak memiliki fasilitas memadai, sampai-sampai kisah Catur, seorang anak yang rela menjadi kuli bangunan supaya dapat membeli handphone untuk sekolah online-nya.
Ini sebuah realita yang nyata-nyata  terjadi di tengah transisi karena efek pandemi.
Keluhan-keluhan terkait kuota yang mahal wira-wiri di media. Pemerintah hadir dan mencoba menjembatani dengan memberikan ide subsidi pulsa. Dikabarkan subsidi pulsa ini akan direalisasikan mulai bulan September, selama 4 bulan ke depan hingga Desember 2020.
Memang, pemberian subsidi ini tak membuat permasalahan berhenti, keluhan bahwa banyak juga siswa yang tidak memiliki handphone menyeruak.Â