melintang Nias hingga Miangas,
terbentang luas Ibu Pertiwiku,
cakrawala naungi kebesaran negeri nyiur melambai.
Tulus jiwa, raga, disertai darah, membayarnya,
demi sebuah aroma harum kemerdekaan,
mengoyak diri demi memeluk bebas,
sebuah harga tak ternilai untuk mencintamu.
Kini setelah hadir angka tujuh puluh lima,
aroma harum itu sedikit memudar,
bukan untuk melawan kedigdayaan bangsa lain,
musuh dalam selimut yang merintang,
sebuah arena laga baru untuk kembali diperjuangkan.
Melepas jerat ini begitu lara,
karena musuh sedarah yang kami lawan.
Bambu runcing kini menjadi sebuah petisi,
keris milik sang empu menjadi hukum-hukum yang menjerat,
untuk melawan kerabat yang tersesat.
Berat,
tapi demi kembalinya sebuah harum kebebasan yang pekat.
Satu dalam keberagaman,
tunggal dalam kebhinekaan,
erat dalam persaudaraan,
bergelayut dalam kebersamaan,
memeluk kesejatian dalam kemerdekaan,
di atas kaki bumi Pertiwi.
Indonesia,
kami cinta.
Merah putih,
teruslah berkibar di dada,
Dirgahayu........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H