Jangan berdiri di depanku
Karena kubukan pengikut yang baik
Jangan berdiri di belakangku
karena kubukan pemimpin yang baik
Berdirilah disampingku sebagai kawan
Memang lagu Banda Neira sebagai kawan ini terbit sekitar tahun 2016 namun lagu tersebut mengigatkan bagaimana KPM (Kuliah Pengabdian Masyarakat) untuk penyebutan KKN di UIN Ar-Raniry kami nikmati prosesnya di tahun 2015 silam. KPM plus riset dan dari ribuan mahasiswa hanya dipilih 100 orang mahasiswa untuk ikut meski pada akhir KPM kami hanya pulang 99 orang.
Bermula dari pembagian kelompok, satu-satu memperkenalkan diri sebelum akhirnya hari H tiba untuk berangkat ke kecamatan Kuta Cot Glie. 100 Orang disambut baik di Kuta Cot Glie, kemudian berangkat bersama kelompok masing-masing ke Desa penempatan. Siapa sangka, takdir dimulai dari sana. 100 Orang ini dibagi ke dalam 20 kelompok yang dikirim ke 20 Desa di kecamatan Cot Glie, Aceh Besar. Aku, DJ, Oji, Putri dan Kak Mai ditempatkan satu kelompok di Desa Maheng. Sebuah desa paling ujung dari semua tempat KPM, desa dengan banyak bukit teletubis (bukit kecil) dengan jalanan menanjak dan menurun sehingga membuat kesulitan air. Â
Hari-hari pertama sambutan baik dan kehangatan kami dapatkan bahkan dimasakkan sampai lima jenis menu setiap makan. Perempuan menginap di rumah salah satu warga yang sudah ditentukan, kami memanggilnya dengan sebutan "Kak" kenapa bukan ibu? soalnya terlalu muda untuk dijadikan ibu angkat, rasanya lebih cocok memanggil "Kak". Tidur beralaskan tikar pandan dan ditutupi dengan gorden dari sarung panjang. Anak laki-laki menginap di Meunasah (Musalla) di mana mereka harus menjaga dan merawat meunasah selama 45 hari penempatan. Untuk makan tetap pulang ke rumah akak. Tentu tidak gratis, kami membayar perorang dikutip hingga Rp.900.000, cukup besar pada tahun 2015 itu.Â
Hari-hari pertama di Desa, sungguh terasa. Kami harus beradaptasi dengan banyak hal terutama buang air besar dan mandi. Orang di Desa terbiasa buang air besar di hutan dan mandi di carak (air yang keluar dari mata air, dipasangi bambu). Kami terpaksa menunda makan setelah matahari terbenam. satu-satunya kamar mandi yang bisa sering kami tumpangi dan punya WC adalah kamar mandi Pak Kecik, itupun diantara kebun, sebab ketika itu Pak Kecik belum membangun rumah di dekat kamar mandi tersebut, baru sumur dan kamar mandi. Jika malam, tempatnya gelap gulita apalagi jalan tersebut menuju kebun. Seringnya, ketika akan mandi, kami berjalan kaki dan ketika pulang, keringat sudah membanjiri baju lantas untuk apa mandi? Perjalanan untuk mandi saja 15 menit berjalan kaki. Syukurnya pada minggu kedua, PM (sebutan untuk Putri) yang memang orang Aceh Besar juga membawa motor ke lokasi KPM, jadi meskipun tarek tiga (tartig) kami bisa mandi dengan tenang dan pulang tetap wangi.Â