Dari pada mengutuk kegelapan alangkah baiknya menyalakan lilin. Ungkapan ini populer sekali di lingkungan sepelataran saya yang berniat menjadi inspirasi bagi negeri. Bertemu banyak orang yang memutuskan mengabdi atau saya sendiri pernah memutuskan mengabdi, jadi honorer lalu berhenti karena tidak mampu secara godaan ekonomi nyatanya membuat saya lebih banyak bertanya. Kenapa sebuah ruangan itu gelap sehingga perlu menghidupkan lilin? Apakah tidak ada celah cahaya? Apakah pentilasi udara tidak terbuka? Atau bohlam sudah lama tidak teraliri listrik? Perjalanan yang saya lakukan, bertemu dengan guru yang sudah berumur lebih 40 tahun tapi masih honorer, digaji tidak seberapa, sudah mengajar puluhan tahun, rasanya jadi pogah sekali saat saya yang cuma mengabdi dua tahun lantas dengan lantang posting "saya ingin menebarkan inspirasi ke pelosok negeri". Heh, kadang terlalu pogah. Beberapa pekerjaan yang melibatkan anak muda memang banyak menawarkan "ayo berkonstribusi untuk negeri" nyatanya sekarang menjadi soalan bagi saya apakah benar ini untuk negeri? Jangan-jangan ini hanya memenuhi hasrat pribadi agar dikenal sebagai orang yang cukup keren mengabdi? Atau jangan-jangan untuk memenuhi target perusahaan. Kemudian pertayaan lain muncul, jika saya ke pelosok negeri lantas menghidupkan lilin untuk menerangi kegelapan, apakah setelah kepergian saya lilin itu tetap menyala? Sebab, secara fakta tanpa kiasan sebatang lilin maksimal tahan beberapa jam saja. Lalu, apa yang harus saya lakukan sebagai anak muda? Saya dilanda kegelisahan. Saya masih berfikir mencari dari mana sumber gelap itu berasal.
Namun, saya selalu beruntung berada dalam gerakan kolaborasi bukan menjadi hero di lingkungan itu tapi sama-sama belajar. Saya gelisah? Ya, kamu bagaimana? Mari kita cari jawabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H