Mohon tunggu...
Nita Helida
Nita Helida Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi, Toleran terhadap Intoleransi?

31 Januari 2017   12:28 Diperbarui: 31 Januari 2017   12:48 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi seorang perantau, pastilah pernah  menemui peristiwa yang bersentuhan dengan toleransi dalam hal ras, sosial, budaya dan agama.

Begitu pula dengan saya. Saya orang Jawa tulen. Lahir dan besar di Tulungagung,  Jawa Timur. Pengalaman pertama, tentang begitu naifnya saya yang intoleran,  terjadi ketika tahun 1998 saya menjadi mahasiswi program studi Biologi di Universitas Udayana, Bali. Saya masih berusia 20 tahun. Waktu itu, saya diminta untuk menjadi MC di acara kampus.  Acara tersebut dihadiri oleh Ketua Jurusan, Ketua Program Studi, para tamu dan mahasiswa Biologi seluruh angkatan. Menjadi MC  pastilah mendapat perhatian penuh, utamanya,  di awal acara. Di tengah-tengah warga Bali yang mayoritas  (lebih dari 80%) bergama Hindu  itu, saya membuka acara dengan ucapan : “Assalamu’alaikum warrokhmatullahi wa baro kaatuh”. Bukan tidak sengaja. Itu saya lakukan sengaja. Menurut saya, karena saya umat muslim, salam secara Islamlah yang  harus saya sampaikan. Tentu saja, tak ada yang menjawab salam itu. Suasana menjadi hening mendengar salam saya. Entah apa yang ada di benak semua orang yang hadir saat itu.  Untungnya kemudian acara segera hangat kembali setelah pembukaan berlalu.

Ketika hal tersebut saya ceritakan kepada orang tua saya lewat surat, seminggu kemudian saya mendapat balasan. Di sana terurai panjang bahwa saya tidak boleh melakukan hal itu. Islam sangat toleran. Dalam Islam, sudah diatur bagaimana bergaul dengan non muslim. Salam seperti itu malah tidak boleh diucapkan. Saya merasa sangat bodoh. Seharusnya saya memakai salam yang netral untuk semua agama saja. Seperti tak ingat pepatah, di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Saya menyesal melakukan itu. Bersikap intoleran karena kurangnya pemahaman saya terhadap ilmu agama saya sendiri. Seandainya saya tahu ilmu tentang memberi salam, pasti saya tidak akan melakukannya. Saya yang mau sokIslam, malah kelihatan dangkalnya ilmu keislaman saya. Saya berpikir, pasti saya menjadi bahan perbincangan dan tidak akan diberikan kepercayaan lagi untuk menjadi MC kampus. Ternyata tidak. Saya masih diminta untuk menjadi MC untuk acara besar kampus berikutnya. Tentu saja kesalahan di pengalaman pertama, tidak terulang lagi. Betapa tolerannya masyarakat Bali, khususnya keluarga besar Universitas Udayana. Mereka masih memberikan kesempatan lagi meskipun saya sebagai kaum minoritas melakukan kesalahan, menyentuh hal yang sensitif di Bali.

Empat tahun berada di tengah-tengah umat Hindu di Bali, saya merasa sangat nyaman. Ibu kos saya orang Hindu. Dia menerima 8 orang muslim untuk menempati rumah kos mereka. Ketika bulan Ramadhan, mereka menghormati kami yang berpuasa. Begitupun kami menghormati setiap kali mereka memperingati hari besar agama Hindu. Kadang hal-hal yang berseberangan malah kami jadikan bahan candaan. Misalnya ketika makan sio bak yang berbahan dasar babi, mereka minta kami untuk menjauh sambil bilang, “Jangan dekat-dekat. Sio Bak ini tidak enak. Jangan minta, haram...haram..” Sudah biasa kami bercanda seperti itu. Tak ada gesekan-gesekan yang membuat suasana panas. Perbedaan tentang agama dan budaya kami nikmati sebagai keunikan yang menyenangkan. Pengalaman tinggal bertahun-tahun di pulau Bali ini menjadi bekal perantauan saya berikutnya.

Saat ini saya kembali merantau bersama keluarga. Sejak tahun 1994 kami tinggal di Cianjur, Jawa Barat. Masalah tentang perbedaan agama tidak kami temui di sini. Mayoritas masyarakat Cianjur adalah beragama Islam. Bahkan budaya Cianjur lebih agamis dibandingkan kota kelahiran saya. Saya sempat bingung ketika tahun 2008 ada Peraturan Bupati yang menghimbau agar semua kaum muslimah (wanita Islam) yang bekerja pada instansi pemerintah di Kabupaten Cianjur  wajib berkerudung (berjilbab). Saat itu saya masih menganggap jilbab sebagai hal baru. Dari kecil saya belum pernah berjilbab kecuali hari-hari tertentu untuk memperingati hari besar Islam atau menghadiri acara keagamaan. Awalnya saya masih tetap tidak berjilbab sampai beberapa bulan. Beberapa teman menasehati, saya masih tetap bertahan. Lama-kelamaan, semua rekan wanita di kantor mulai berjilbab dengan model yang bagus-bagus. Saya mulai termotivasi untuk membaca hukum berjilbab. Terdorong oleh Peraturan Bupati, lingkungan dan hukum berjilbab bagi muslimah, akhirnya sayapun tergerak untuk memakainya hingga saat ini.

Meskipun di kota ini banyak persamaan dalam sosial, budaya dan agama, namun perbedaan yang juga menuntut toleransi tetap ada. Munculnya bukan pada perbedaan agama tetapi perbedaan aliran/paham dalam agama. Tak usah jauh-jauh. Di lingkungan sekitar tempat tinggal dan tempat kerja saja sudah banyak perbedaan. Memang, tak dapat di pungkiri, ada masyarakat Islam yang biasa bertahlil untuk mendoakan yang meninggal, membaca doa qunut dalam shalat subuh, memperingati setahun sekali yang meninggal, ada pula yang tidak. Kadang ada yang “berdiskusi” sampai  “hangat” tentang kebudayaan ziarah ke makam-makam sunan/tokoh agama di beberapa kota dan provinsi selama berhari-hari . Di sekolah tempat saya bekerja, sudah menjadi hal biasa ketika tiba-tiba hampir setengah murid di kelas tidak hadir karena pergi berziarah ke makam salah satu tokoh ulama/agama yang berpengaruh di daerah tertentu.  Hal ini mungkin terasa aneh bagi sebagian umat Islam lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak kami permasalahkan. Semua saling menghormati, menjalankan ibadah sesuai pemahaman yang dianutnya. Tak ada yang saling mengusik, tak pula saling mengkritik.

Perbedaan etnis juga tak berpengaruh dalam kegiatan kerja maupun pertemanan. Sebagai Kepala Sekolah, kami memiliki sebuah wadah diskusi yaitu Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Di lingkungan tersebut ada beberapa teman  WNI keturunan Cina. Perbedaan etnis tersebut tidak mempengaruhi  suasana kerja kami. Bahkan ada salah satu teman yang keturunan Cina diberikan kepercayaan sebagai salah satu pengurus MKKS. Dia adalah Kepala Sekolah di sebuah SMP Kristen di Cianjur. Dia seorang wanita yang ramah, cekatan, cerdas, dan sangat baik. Kecerdasan dan kebaikkannya tersebut menjadi sebuah catatan buat saya. Tiga tahun lalu ada seleksi Kepala Sekolah dan Guru Berprestasi tingkat Kabupaten Cianjur. MKKS mencari calon peserta di ajang tersebut. Saya mengusulkan kepada ketua MKKS Sub rayon untuk menjadikannya kandidat Calon Kepala Sekolah berprestasi mewakili sub rayon kami. Saya dengan senang hati membantunya untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari penyusunan laporan best practice hingga hal-hal kecil lainnya. Ketika beliau menjadi juara 2 pada ajang lomba tersebut, kami semua sangat berbahagia.  Kami merayakan keberhasilannya di pertemuan MKKS Sub rayon  untuk memberikan selamat atas keberhasilannya dan memberikan motivasi bagi teman-teman kepala sekolah yang lain untuk mengikuti langkah keberhasilannya. Teman-teman keturunan Cina lainnya juga tak kalah ramahnya. Kami sering terlibat dalam beberapa kepanitian untuk acara-acara pendidikan bersama-sama.

Suami saya, seorang praktisi pertanian. Rekan bisnisnya juga banyak yang keturunan Cina. Kami bergaul akrab dan sering saling berkunjung untuk membicarakan masalah bisnis.  Hubungan kami semuanya terjalin sangat mesra. Tak ada hal-hal yang mengusik perbedaan itu. Bahkan kami seringkali tidak ingat bahwa kami dari etnis yang berbeda. Seringkali perbedaan etnis dan suku menjadi bahan olok-olok mesra yang membuat kami tertawa terbahak-bahak.

Suasana toleransi yang damai itu menjadi agak berbeda akhir-akhir ini. Semenjak terjadinya dugaan kasus penistaan agama di lingkup nasional. Iklim toleransi  menjadi rentan gesekan kala membicarakan perbedaan agama dan etnis Cina.  Pembicaraan tentang perbedaan etnis tidak selepas dulu lagi. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kami bersama-sama, berkumpul dalam musyawarah kerja, kami menghindari pembicaraan tentang isu intoleransi nasional. Kami benar-benar menjaga agar isu intoleransi yang sedang melanda nusantara ini tidak berkembang menjadi konflik di lingkungan sekitar. Kadang-kadang ada teman yang membagikan tulisan yang tak sengaja menyinggung etnis  dan agama tertentu di grup whatsapp MKKS Sub rayon. Langsung saja, seperti ada yang mengomando, topik pembicaraan segera dibelokkan ke topik yang lain. Begitupun  ketika salah seorang dari kami tiba-tiba tanpa sengaja membicarakan isu nasional tentang Bapak Ahok, Habib Riziek Shihab dan kasus penistaan agama, seperti mobil yang direm mendadak, tersentak. Pembicaraan kami langsung berhenti saat kami menyadari ada teman yang beretnis dan beragama lain. Hal ini merupakan suasana yang  tidak mengenakkan. Saya merasa seperti ada tabir yang membatasi keakraban  pertemanan. Tabir yang membatasi atmosfir pergaulan kami.

Tabir ? Ya. Saya pikir tabir itulah yang  memang kami perlukan. Tabir, batas yang memilah antara kelompok agama, ras, sosial, budaya, bahkan sikap politik seseorang  yang satu dengan lainnya. Bukan untuk menjauhkan keakraban, namun kami perlukan agar masing-masing memiliki batasan agar  tidak saling terganggu dan tersakiti. Kita wajib bekerja sama dengan rekan yang berbeda ras, agama, sosial dan budaya dengan kita dalam urusan duniawi. Tetapi ada batasan yang jelas untuk kegiatan yang berhubungan dengan aqidah/keyakinan dalam agama. Untuk urusan yang satu itu, masing-masing harus berjalan pada rel yang terpisah namun saling menghormati hak dan kewajiban agamanya.

Makna sikap toleran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Meskipun begitu, Toleransi tetap saja ada batasannya. Ketika ada tetangga, apapun ras dan agamanya, melakukan kejahatan dengan menyiksa pembantu rumah tangganya dengan alasan yang diyakininya benar, misalnya. Tentu saja kita tidak akan membiarkan begitu saja, bukan?  Toleransi bukan membiarkan, bukan pula sikap ketidakpedulian, jika yang kita temui adalah penindasan, penganiayaan ataupun kejahatan kepada mereka yang berbeda, siapapun mereka.  Bukan toleran terhadap intoleransi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun