Mohon tunggu...
Nita Hakeem
Nita Hakeem Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

a student from Industrial Enginering ITS Surabaya, a girl with multiply's blog (neethabangetz.multiply.com),blogger at (www.nitahakeem.blogspot.com), twitter @nitahakeem,the one who interest in e-commerce, marketing, and management trainee. Let's do inovation as an entrepreneur!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

A short story : Penyesalan

15 Januari 2012   10:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:52 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sewaktu berumur tujuh tahun, kebanyakan gadis kecil mengidamkan masa depan bak seorang putri. Menunggu pangeran berkuda putih yang akan menjemputnya pulang ke istana. Hidup dengan gemerlapnya kerajaan dan fantasi indah seperti dalam dongeng.

Tidak sepertiku...

Namaku Rei, dan yang kuidamkan hanyalah Ayah. Ya, masa depanku adalah bersama lelaki seperti Ayah. Bukan pangeran dengan jubah putihnya, tapi sosok hangat seperti yang bisa Ayah berikan padaku.

Ayah yang selalu mengerti keinginanku. Yang menyuruhku memilih les lukis daripada les Biola yang dikehendaki Ibu.

”Pilih deh yang Rei sukai,” katanya saat itu.

Hidup terasa mudah ketika Ayah mengusap wajahku yang berbalur debu saat terjengkang di pasir taman. Bosan yang melanda terasa sirna saat beliau membelikan CD Finding Nemo kesukaanku. Dan wajah cemberut yang menghias ketika Ibu memarahiku, terasa lebur sewaktu beliau menatap dengan mata teduhnya.

Tidak pernah kusangka, hanya sembilan tahun aku hidup bersamanya. Menerima bahwa aku harus kehilangan sosok seorang Ayah pada usia dini. Membuat Ibu memeras tenaga untuk berperan sebagai Ayah sekaligus. Bekerja, mengatur keuangan, memasak, menjahitkan baju yang sobek, dan membersihkan seisi rumah adalah tanggung jawabnya.

Hanya satu yang aku pikirkan saat itu... ingin membahagiakannya di masa depan.

***

Lelaki itu terus menatapku seperti melihat guci Cina terdampar di meja perpustakaan. Aku memicingkan mata, lalu mendelik begitu ia tersenyum aneh.

”Hai, namaku Keys,” ucapnya menghadap meja depanku. Aku mengangkat alis, membuatnya agak sungkan.

”Aku Rei...”

”Sailor Mars itu?” Ia mendelik takjub. Aku tertawa dengan seringai menyindir.

”Maaf,” ucapnya nyengir,”menurutmu kenapa masa SMA adalah masa yang paling indah?”

Aku agak bingung dengan lelaki ini. ”Menurutku tidak.”

”Kenapa?”

Karena di masa SMA ku tidak ada Ayah. Dan aku kehilangan kebahagiaan yang selama ini mengalir pada urat nadi. ”Kamu nggak perlu tahu.”

Itu awal kami bertemu. Usiaku 17 tahun, kata orang di usia ini seorang perempuan dianggap dewasa. Apa iya? Kurasa tidak, karena selama ini aku hidup dalam sistem kediktatoran ibu. Jurusanku IPA adalah keinginan Ibu meski dia tahu aku bakat dalam Sosiologi.

Tahukah kamu, hidup dengan rumus pasti sangat membosankan. Manusia seperti robot yang berpatok pada teori. Jikalau ilmu adalah ilmu pasti, untuk apa semboyan mencari ilmu? Wong ilmunya sudah ada, apa yang dicari?

Satu hal yang mencerahkan pikiranku dari masa suram yang terjadi dalam hidup cuman Keys. Lelaki yang makin gigih mendekatiku dan menjalin hubungan dalam kurun waktu cukup lama. Ia memberiku ’ruang’. Tempat aku leluasa bergerak dan membiarkan isi pikiranku dalam sekejap. Manusia itu memberi secercah cahaya yang membuatku mampu menatap dengan kasat mata sinarnya yang tajam. Seperti..... Ayah....

***

Lelaki berjas hitam itu bahkan tak kukenal. Ia tersenyum penuh rasa ketika kami bertemu dengan ibuku. ”Ini Johan, calon suamimu...”

Tidak!! Aku bahkan tidak pernah berencana menikah di usia 21 tahun!

Tolakan pun hanya sekedar kata. Ibu menyadarkanku pada kesuraman hidup yang membelenggu kami sekian tahun. Ia mungkin sudah tak mampu membanting tulang demi aku. Dan aku teringat cita-citaku dulu... ingin membahagiakannya di masa depan.

”Aku mencintai orang lain, bu...”

”Kamu tidak bisa hidup dengan cinta, Rei. Pria itu mapan! Bisa memberimu harta berlimpah bak putri raja, kamu tidak perlu sesusah ini, kamu akan punya semuanya.”

***

Kala berumur 22 tahun, impian hanyalah lubang kecil yang tertutup besi. Semu. Dulu, aku berharap ada sosok Ayah di masa depanku. Ayah yang kucintai. Sempat kutemukan sosok itu pada Keys, tapi di kelingking kami tidak tersambung benang merah.

Aku telah menukarnya dengan kehidupan mewah. Kemegahan tanpa cinta yang menghempaskan ibuku pada kehdupan baru yang nikmat. Ia pun tersenyum bahagia kala mampu membeli tas Dior yang selama ini belum mampu kuberikan. Wajah yang berseri-seri telah kupersembahkan.

Meski tanpa ia tahu, tiap malam selalu ada jerit tangis, bentakan, serta memar di tulang pipi anaknya. Ya, lelaki itu mapan, namun tak bermoral. Harta ini adalah berkah perebutan kekuasaan secara ksar. Bukan hasil keringat. Aku yang memberontak ini selalu memprotes tindakannya. Dan ia akan selalu marah dan melayangkan tamparan pukulan di wajahku... seperti pukulan terakhirnya sore itu.

***

Andai Ayah masih ada, ia akan menyuruhku mengikuti kata hati lebih awal. Ia akan melindungi ibu dari suramnya hidup dengan kehangatan. Meski bukan itu masalahnya...

Aku. Aku yang rapuh dan tidak mampu mengubah nasib dengan tanganku. Terpaku pada gelapnya dunia. Aku yang tidak pernah berusaha mendapat yang kumau.

Hujan pagi itu, menyisakan kepedihan pada wanita yang berbalut busana hitam. Ia meraung di tengah hadirin yang berpakaian senada. Airmatanya tumpah ruah, memanggil namaku.

Aku hanya menatap dari atas, tanpa ada yang menyadari keberadaan sosok ini. Tidak kulihat, suami yang berada di balik jeruji penjara. Yang ada hanya ... bayangan tegap di balik pohon. Ia tegar meski bulir-bulir airmata membanjiri wajahnya bersamaan dengan deras hujan. Keys...

Ia berbalik, menatapku. ”Seandainya kamu tidak memilih kehidupan itu, seandainya kamu mampu bertahan, seandainya...”

Aku mengusap airmatanya. Dengan senyum samar pada sosokku yang hampir menghilang. Sudah kubilang, sosok Ayah ada pada dirinya. Ia yang selalu membangkitkanku. Namun sayangnya, telah kusakiti manusia yang kucintai demi manusia lain yang juga kucintai. Tak kusangka pengorbananku sia-sia. Andai kau tahu Keys, kalau saja aku memilih bersamamu, mungkin hidupku lebih panjang...

Demi Ibuku... yang ingin kubahagiakan...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun