Dengar kata lapang dada, Otak rasanya sudah otomatis buat nyanyi lagunya Sheila On 7-Lapang Dada. Namun kalau sekadar menyanyi sih rasanya mudah ya untuk menyebut kata ambil hikmahnya. Tetapi kenyataannya realita selalu berkata, Gak semudah itu yo bestie !
Dari buku Ikan Kecil ini, Kita akan diajak belajar tentang apa itu Lapang dada lewat kisah rumah tangga Deas dan Celoisa yang mempunyai anak Autis. Mendapatkan vonis dari dokter bahwa anak sendiri mengalami gangguan spektrum auits itu rasanya sudah seperti melihat hantu di depan mata. Lemas, takut, gemetar dan membuat dada sesak. Kalau hantu yang dihadapi kita masih bisa baca doa atau lari sekencang mungkin agar bisa menghindarinya, tapi masalah ini tentunya tak bisa diselesaikan hanya dengan berlari atau baca doa. Satu-satunya cara Deas dan Celoisa menyelesaikan masalahnya adalah menghadapinya.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa manusia akan mengalami lima tahapan ketika mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan. Umumnya manusia akan melalui tahapan menyangkal, marah, bargaining, depresi, dan baru setelahnya bisa menerima keadaan yang menimpa. Seperti halnya yang dilakukan Celoisa dalam buku ini. Penolakan demi penolakan yang dialami oleh Celoisa adalah suatu hal yang wajar akan dialami semua ibu di dunia ini yang tiba-tiba saja mendapatkan kenyataan bahwa anak mereka mengidap gangguan perkembangan. Mengapa bisa aku katakan wajar, Karena keluargaku sendiri sudah mengalaminya. Dulu mamaku sampai membentakku karena selalu mencari tahu berbagai artikel tentang down syndrome. Mulai dari ciri-ciri sampai cara pengobatannya. Mama seperti Celoisa yang terus menolak dan mengatakan bahwa anaknya baik-baik saja. Namun sekeras apapun mamaku menolak, kenyataan di depan mata akan tetap ada, bahwa adikku memang mengindap down syndrome.
Bagi pembaca Ikan Kecil mungkin akan sebal dengan tingkah Celoisa yang malah mengabaikan anaknya disaat anaknya sedang membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Namun di kenyataannnya memanglah seperti itu, Seorang ibu lah yang paling merasa bersalah jika ada suatu hal yang terjadi pada anak mereka. Celoisa memilih lari, berbeda dengan Deas yang memilih untuk menghadapinya dari awal.
Aku sangat suka penggambaran karakter Deas yang selalu berani menghadapi masalahnya. Memang Deas sebagai seorang laki-laki tak pernah merasakan apa yang dirasakan Celoisa sebagai seorang ibu yang gagal merawat anaknya. Namun Deas sendiri sebenarnya juga mempunyai kesedihan dalam hatinya, Tapi cara menyikapinya saja yang berbeda. Deas memilih untuk tak membuat masalahnya menjadi rumit. Hal ini tentu saja membuatku iri dan bertanya-tanya dalam hati, Caranya punya sikap kayak gitu gimana sih ? Sedangkan Aku sendiri setiap ada masalah ya pasti akan menghadapinya seperti celoisa. Sedih dan terus menyalahkan diri sendiri, seolah selalu ada semboyan di dalam kepala yang mengatakan, Kalau bisa dibuat sulit, kenapa harus dibuat mudah ? Ah, Mungkin itu karena laki-laki berfikir selalu menggunakan logika, bukan hati seperti perempuan.
Judul Ikan kecil ini adalah sebutan bayi Deas dan Celoisa. Kenapa ikan ? penjelasannya sederhana, karena manusia memang awalnya berbentuk seperti ikan ketika janin masih beberapa minggu. Sederhana, tapi aku suka sama perumpamaan yang dipakai. Bagi pembaca yang sudah mengikuti karya Ossy Firstan mungkin sudah tau bahwa pada awalnya buku Ikan kecil ini berjudul 45 months. Namun bagiku yang sudah tertinggal jauh, Aku baru tau judul awalnya adalah 45 months sesudah mengeluarkan jurus-jurus stalking di beberapa sosial media.
Selain mendapatkan berbagai informasi tentang Autis, mulai dari penyebabnya, ciri-ciri sampai berbagai cara terapi penangannya, Buku ini juga tersimpan jokes-jokes lucu yang tadinya ingin sedih, tapi malah gagal sedih. Seperti saat Celoisa yang sedang merasa bersalah dan terus menyalahkan diri sendiri, Deas dengan santainya bilang, " Terus, aku harus nikah lagi gitu untuk nyari ibu baru untuk olei ? " Sontak saja aku malah jadi tertawa membacanya. Belum lagi tingkah aneh para mahasiswa Deas, Ada yang selalu konsul tanggal 17, judul-judul aneh skripsi mahasiswa bimbingannya, dan lain-lain. Hal ini tentunya bisa membuat buku ini menjadi kaya akan rasa, Ada pahit, manis, sedih dan gembira. Kak Ossy udah berhasil bikin aku sebagai pembaca merasakan rasa itu semua dalam baca bukunya.
Terakhir, Untuk para ibu yang sedang berjuang dengan titipan spesial yang diberikan oleh Allah, Tetaplah bersemangat. Percayalah, Allah tidak akan menitipkan anak spesial kepada ibu yang lemah, Kalian adalah ibu-ibu terkuat dan terhebat yang pernah ada. Mari kita ikuti kata Deas bahwa  Hidup itu bukan lomba lari, akan selalu ada saat yang tepat meski harus menunggu beberapa saat (Hal 9). Olei yang tadinya gak bisa nyebut mama papa pun akhirnya bisa ngomong mama papa, Adikku yang dulunya seperti anaknya ibu sarah gak bisa jalan, gak bisa ngomong, tapi sekarang dia sudah bisa jalan, bisa sekolah, bisa ngomong walaupun belum lancar, dan yang terpenting dia sudah bisa mandiri mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan. Jadi berhenti untuk terus melihat ke atas, nikmati sendiri pecapaian-pecapaian kecil yang telah kita dapat, karena bahagia itu sederhana, tidak rumit jika kita bisa mensyukuri apa yang telah kita punya.
Semangat Semuanya !!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H