Tangan Eyang yang keriput selalu terasa lembut di tanganku. Ada cinta kasih yang mengalir dalam hangat dekapan tangan itu. Cinta kasih yang membuatku merasa lebih mencintai Eyang daripada wanita yang melahirkanku sendiri. Tangan yang menimangku saat wanita yang kupanggil Mama sibuk memenuhi undangan seminar ke berbagai kota mempromosikan buku-bukunya.
Eyang sekarang tak mampu lagi menggendongku, seorang wanita dewasa berusia 20 tahun. Aku yang menggandengnya sekarang, menuntunnya berjalan-jalan menikmati kesegaran Minggu pagi di seputar lapangan Manahan.
“Solo semakin tambah cantik ya, Yang. Lapangan ini jaman aku SMA dulu tidak secantik ini. Masih ingat dulu sering disuruh lari mengelilingi lapangan ini setiap pelajaran olahraga.”
“Kamu juga tambah ayu.... Pantas saja jarang pulang Solo. Sepertinya sudah terlalu disibukkan dengan pria-pria yang mengejar.”
“Ah..., Eyang.”
Aku merasa sedikit bersalah. Tak kusangkal kata-kata Eyang. Selain sibuk mengejar karier, aku memang disibukkan dengan berbagai undangan jalan-jalan oleh teman-temanku. Tak kusangkal pula banyak dari mereka adalah pria-pria yang nyata sedang mengejarku.
“Tapi aku masih jomblo, Eyang....”
“Ah, baru dua bulan jomblo.”
Mataku agak terbelalak menatap Eyang. Bagaimana dia tahu sejarah asmaraku di Jakarta? Tapi kemudian aku menyadari bahwa Eyangku ini bukan wanita gaptek. Dia pasti tahu dari FBku. Atau bisa jadi salah satu sepupuku yang melihat status hubunganku di FB, kemudian berbagi rumpian dengan Eyang.
“Tidak apa-apa putus kalau masih dalam masa pacaran. Ini jaman moderen, sebagai wanita kamu punya hak yang lebih leluasa untuk mempertimbangkan dan memilih calon suamimu nanti.”