Mohon tunggu...
Yunita Handayani
Yunita Handayani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ibu yang bahagia :) www.yunita-handayani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dunia Tanpa Warna

26 Juni 2011   15:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Ilustrasi:google"][/caption]  

Lega aku masuki tempat fotokopi tersebut. Rusaknya mesin fotokopi di kampus memang agak merepotkan. Masih ada waktu 15 menit untuk mengkopi lembar kuis yang akan kubagikan ke mahasiswa sore ini. Aku letakkan map folder plastikku di atas meja pelayanan mencoba mencari lembar kuis di antara tumpukan berbagai kertas materi. Aku sempat terkejut mendapati ada map yang sama persis dengan milikku di atas meja tersebut. Cuma map itu berwarna biru lembut sedangkan mapku berwarna hijau muda. Aku teringat membeli map ini beberapa hari yang lalu di keranjang obralan sebuah toko buku. Barang obralan murah meriah seperti ini tentu banyak yang menyamai.

Kuserahkan lembar tes yang akan kukopi pada petugas yang menghampiriku.

“25 kali, kertas A4 ya Mbak.”

“Nunggu lima menit ya Mas, mesinnya antri semua nih....”

“Oke.”

Aku duduk di bangku kecil yang agak jauh dari meja pelayanan itu. Sempat aku melihat seorang wanita muda yang sedang mencoba menerangkan sesuatu kepada petugas fotokopi lain. Rupanya petugas itu telah salah mengkopi dokumen sebelumnya. Wajah wanita itu terkesan begitu lembut dan manis, tapi entah kenapa aku lebih tertarik melihat jari jemarinya yang menunjuk-nunjuk dan membuat garis di dokumennya. Setelah petugas fotokopi berlalu membawa dokumennya, kulihat gadis itu menanti cemas dengan mengetuk-etukkan jemarinya. Gerakan jemarinya indah dan berkesan magis bagiku.

Aku agak tergagap saat dia tiba-tiba melirikku sekilas. Rupanya dia menyadari ada seseorang yang mengamati. Buru-buru aku memalingkan wajah menatap jalanan.

“Mas, sudah selesai,” suara petugas fotokopi mengagetkanku. Aku bangkit dari bangku. Gadis berjemari indah itu sudah tidak nampak lagi.

“Berapa?”

Dia menyebut sejumlah harga. Kuberikan uang pas yang telah kusiapkan di saku kemeja.

Aku terkejut saat akan memasukkan hasil fotokopi ke dalam map. Mapku tidak ada di tempatnya semula. Aku melihat sekeliling meja. Sekilas aku melihat map biru muda yang hampir persis dengan mapku tadi, tersembul di bawah lembaran fotokopian entah milik siapa.

“Mbak, lihat map hijau nggak ya?” tanyaku pada petugas fotokopi.

“Iya, tadi lihat di situ. Saya nggak mindah-mindah kok Mas....”

Aku dan petugas itu jadi celingukan kesana kemari mencari-cari. Saat petugas melihat map biru muda itu dia mengernyit.

“Oh..., mungkin tertukar dengan mapnya Mbak tadi. Yang biru ini mapnya si Mbak tadi, mungkin dia salah ambil punya Mas.”

Mbak tadi? Apakah maksudnya gadis berjemari indah itu?

“Aduh...,” hanya itu komentarku.

“La gimana Mas? Mungkin nanti Mbak itu ke sini juga buat tukar mapnya. Nanti saya simpenin deh.”

Aku hanya terdiam dan berpikir.

“Mbaknya itu kerja di kursusan musik samping kampus itu lo Mas.”

“Oh ya, saya tahu. Saya juga mau ke kampus nih. Saya bawa saja, nanti sekalian saya mampir dan tukar map.”

“Ya Mas....”

Aku berjalan dengan cepat-cepat menuju kampus. Entah mungkin bersemangat segera menukar map atau bertemu lagi dengan wanita berjemari indah itu. Kemudian langkahku sedikit ragu mengingat lima menit lagi aku harus memberi kuis ke mahasiswaku. Akhirnya kulewati saja bangunan kecil bertuliskan “Harmony Music School” itu. Langsung menuju kampus dengan sedikit berlari kecil.

Setelah lembar kuis kubagi aku duduk di meja dosen mengawasi mahasiswa. Tapi ekor mataku tidak bisa terlepas dari map biru muda yang kutaruh di mejaku. Rasa ingin tahuku muncul. Ibuku berkata bahwa aku punya rasa ingin tahu yang terlalu besar akan segala hal. Rasa ingin tahu yang sungguh merepotkan saat aku masih kecil. Tapi rasa ingin tahu berlebih ini yang membawaku meraih gelar beasiswa S2 di  luar negeri dan pulang ke tanah air untuk menjadi dosen dalam umur yang belum genap 30 tahun.  Sekarang, rasa ingin tahu ini menggodaku untuk melanggar privasi orang.

Pelan kubuka map biru itu. Agak merasa bersalah juga. Tapi aku membela diriku sendiri dengan dalih berusaha menemukan identitas pemilik map tersebut. Aku ingin menghubunginya, mengabari bahwa mapnya kubawa dan akan kukembalikan 30 menit lagi.

Tak ada satu pun identitas di situ. Yang ada hanya lembaran-lembaran partitur musik bertuliskan not-not balok yang rumit. Dia pasti seorang guru musik. Kemudian mataku menangkap sebuah kertas polos yang terselip di antara partitur musik itu.  Kertas itu penuh dengan coretan-coretan tulisan tangan. Yang membuatku tertarik karena beberapa bagian tulisan di kertas itu agak kabur seperti terkena tetesan air.

Rasa ingin tahuku semakin tak terbendung. Aku semakin jauh melanggar privasi. Perlahan kubaca coretan tangan itu....

 

Tuhan,

Engkau memberiku dunia tanpa warna yang tak pernah lagi aku keluhkan. Aku menikmati tenggelam dalam hitam putih tuts-tuts piano dan hitam putih berlembar-lembar partitur.

Dan pada suatu masa Engkau menghadirkan warna-warna dalam hidupku.

Mereka bilang “Kuning” adalah warna yang melambangkan keceriaan. Dia menghadirkan keceriaan bagiku. Dia mengajariku menertawakan berbagai hal. Dia membawa imajinasiku untuk membayangkan berbagai hal yang akhirnya hanya berakhir dengan gelak tawa kami berdua.

Mereka bilang “Merah” adalah warna yang melambangkan keberanian. Dia mengajariku berani mencoba hal-hal baru. Berani menghampiri puncak gunung, berani menari mengarungi derasnya sungai. Berani berpetualang mencoba hal-hal baru bahkan walau kami harus sering tersesat di jalanan desa terpencil.

Mereka bilang “Biru” adalah warna yang melambangkan kedamaian. Aku menemukan kedamaian dalam pelukannya. Aku menemukan kedamaian dalam sentuhan tangannya di kepalaku. Aku menemukan damai dalam genggaman jemarinya.Dia mengajariku menenangkan diri saat segala hal yang di luar rencanaku selalu membawa serangan panik dan emosi bagiku.

Mereka bilang “Hijau” adalah warna yang melambangkan kesegaran. Hadirnya memberi kesegaran di hatiku. Dia mengajariku untuk menyegarkan hidup di tengah riuhnya jadwal dan jenuhnya hari. Dia mengajarku untuk menjalani hidup lebih teratur dan sehat. Mengingatkanku untuk makan dan tidur di tengah ambisiku yang sering lupa waktu saat bergelut dengan tuts-tuts piano untuk menaklukkan sebuah gubahan.

Dia menghadirkan warna-warna di hidupku melalui rasa dalam hati. Menciptakan spektrum indah di jiwaku prisma hatinya, memancar cemerlang menerangiku.

Sampai saat ini aku belum bisa mengerti mengapa Engkau mengambilnya dari sisiku.

Aku masih mencoba mengerti jalanMu. Hatiku masih pedih mengingat semua warna itu luntur seketika dalam satu peristiwa.

Ampuni aku Tuhan.

Ajar aku mengerti. Mengapa?

 

Aku membaca berulang-ulang kertas itu sambil membayangkan wanita berjemari indah yang kutemui di tempat fotokopi tadi. Semakin lama aku semakin tenggelam dalam jiwanya. Aku juga menjadi sadar bahwa bagian tulisan yang kabur tersebut tentunya adalah tetesan air mata.

“Pak, sudah selesai. Boleh langsung pulang?”

Aku terkejut. Kualihkan pandanganku dari lembaran kertas itu dan memandang seorang mahasiswa yang menyerahkan kertas jawaban padaku.

“Oke, taruh saja di sini. Silahkan langsung pulang.”

Mahasiswa itu berlalu. Aku meletakkan kembali kertas  itu dengan rapi ke dalam map. Satu per satu mahasiswa mengumpulkan lembar jawaban. Rasanya tak sabar supaya kelas cepat kosong agar aku bisa segera menemui gadis berjemari indah itu..

Akhirnya semua selesai. Hampir menjelang jam delapan malam saat aku keluar dari gedung kampus. Sekolah musik itu masih ramai dengan remaja dan beberapa  orang tua murid. Sebagian remaja menenteng biola atau gitar akustik. Aku tidak tahu harus ke mana. Tapi aku melihat sebuah meja yang sepertinya meja resepsionis. Di meja itu duduk seorang gadis muda memakai polo shirt dengan lambang sekolah musik. Dia tampak asyik mengobrol dengan dua ibu-ibu yang sepertinya adalah orang tua yang sedang menunggui anaknya.

Aku datangi meja tersebut.

“Permisi....”

“Oh ya, selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” Gadis itu menyapa dengan nada bicara sangat ramah dan profesional. Dua ibu di meja resepsionis tersebut sedikit menyamping memberi ruang padaku.

“Apakah ada yang kehilangan ini?”

Aku meletakkan map biru itu dengan hati-hati di meja resepsionis. Gadis itu membelalakkan matanya.

“Oh, ini dia! Ini map Ms. Hany, tadi sepertinya dia tertukar map di tempat fotokopi. Map Anda yang warna hijau itu ya?”

Aku mengangguk. Gadis tersebut mohon diri sebentar. Pastinya dia akan memanggil wanita bernama Hany itu.

“Oh, ini yang mapnya tertukar tadi ya...? Emang persis ya? Cuma warnanya saja yang beda,” ibu di sampingku tiba-tiba berkicau.

“Loh, Ms. Hany itu kan buta warna makanya mungkin salah ambil,” ibu yang satunya pun turut berkicau.

“Tapi sejak suaminya meninggal karena kecelakaan itu memang dia agak suka bingungan gitu ya?”

“Eh, tapi kabarnya dia sempat depresi sampai ikut konseling juga. Katanya sih udah baikan makanya bulan ini mulai ngajar lagi.”

“Siapa sih yang nggak depresi? Baru nikah tiga bulan sudah ditinggal pergi.”

Kicauan ibu-ibu tadi terus berlanjut ke berbagai jurusan. Aku menyimak dan mencoba menyatukan rangkaian kisah wanita bernama Hany ini. Buta warna, suami yang meninggal. Rasanya aku sekarang dapat menyatukan rangkaian kisah sendu yang kutangkap dari tulisan tangan tadi.

Celotehan ibu-ibu tadi sekejab berhenti saat Hany muncul. Jemari tangannya yang indah memegang sebuah map hijau.

“Maaf, tadi saya terburu-buru dan tidak memperhatikan sampai salah ambil.”

Hany menyerahkan map hijau muda itu padaku.

“Tidak apa-apa.”

Sejenak saling diam dan hanya saling melempar senyum kikuk.

“Eh, maaf.... Saya sedang ada kelas dengan murid. Ini saya tinggal dulu ya.... Sekali lagi saya minta maaf.”

“Oh ya..., silahkan....”

Hany menganggukkan kepala dengan sopan kepadaku. Juga kepada dua ibu yang menatap kami sambil senyum-senyum penuh arti.

Aku menatap senyum terakhir Hany sebelum kembali ke kelas. Senyum yang samar, setengah terpaksa. Seakan bila diijinkan, dia tidak mau melempar senyuman kepada siapa pun di dunia. Masih ada sendu yang berat menggantung di matanya.

Aku tidak sadar telah cukup agak lama memperhatikan bayangannya yang berlalu saat sebuah suara menyadarkanku.

“Pak, Ms. Hany akan mengadakan home concert* bersama beberapa murid senior kami Sabtu ini. Mau menyaksikan Pak? Gratis kok, tinggal ambil undangan saja,” gadis resepsionis tersebut tiba-tiba menyodorkan sebuah undangan. Resepsionis yang sangat lincah dan lihai melihat peluang.

“Oke, saya ambil satu.”

Tiket sudah di dalam tas dan aku berlalu untuk pulang. Rasanya ingin segera melompati waktu menuju Sabtu. Ada sesuatu yang bergejolak, bertabuhan begitu rancak di hatiku. Gejolak hatiku untuk menghadirkan warna-warna bagi Hany.

 

*Home concert: Konser musik dalam skala dan ruang yang lebih kecil daripada konser biasa. Home concert ini biasanya merupakan konser gratis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun