Mohon tunggu...
Yunita Handayani
Yunita Handayani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ibu yang bahagia :) www.yunita-handayani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tiga Perempuan dalam Cermin

10 Februari 2012   05:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:50 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurapikan wiru kain batikku. Sekilas kutatap kembali pantulan wajahku di cermin. Wajah seorang gadis yang murung. Tapi, siapa yang akan ceria bila harus hidup dalam pingitan sementara asaku terbang melintasi samudera?

Kurapikan sekilas beberapa anak rambut yang berontak keluar dari sanggulku. Aku bersiap menuju ke meja tulis untuk kembali menekuni surat-surat. Membaca dan menulis adalah satu-satunya penghiburanku di dalam kukungan dinding-dinding tradisi ini.

Suatu keanehan menahan langkahku. Cermin itu berpendar membiaskan sinar kebiruan. Kabut tipis muncul menutupi pantulan wajahku di dalamnya. Sebuah tulisan muncul di cermin tersebut, “Februari 2012”.

Belum hilang keterkejutanku menatap tulisan tersebut, tiba-tiba muncul gambar-gambar bergerak dalam cermin tersebut. Bukan sekedar foto hitam putih. Gambar-gambar itu begitu berwarna dan tampak hidup serupa nyata.

Gambar bergerak di cermin itu menampilkan sosok seseorang yang mengenakan pakaian aneh. Mulanya kupikir dia seorang pria karena tak ada sanggul, bahkan rambutnya begitu pendek. Warna rambutnya begitu memikat, ungu kemerahan. Barulah aku sadar kalau dia seorang perempuan. Wajahnya masih terlihat cantik di usia yang menua. Terlihat ketegasan dan kecerdasan dalam sorot matanya.

Lamat-lamat muncul suara seseorang dari cermin itu. Aku mencoba mendengarnya baik-baik. Aku terpana saat suara itu menyebut bahwa perempuan itu adalah mantan gubernur Bank Indonesia. Begitu hebatkah perempuan-perempuan bangsa ini di masa depan? Memegang jabatan tinggi sebagai gubernur layaknya jabatan yang hanya boleh dipegang seorang petinggi Belanda.

Apa yang kudengar kemudian kurang dapat kupahami. Dikatakan bahwa perempuan itu terlibat suatu perkara pelanggaran dan akan disidangkan. Korupsi, itu yang mereka sebutkan. Aku mencoba memindai ingatanku, rasanya aku pernah membaca tentang korupsi dari berita-berita dari Eropa. Nanti, aku ingin mencari dan membacanya lagi. Aku ingin tahu pasti tentang korupsi. Bagaimana mungkin seorang perempuan berani melakukan itu sedang saat ini aku tak diperkenankan berbicara dan melakukan apa pun di luar ruang pingitan ini.

Kabut dalam cermin muncul lagi. Hanya sesaat kemudian muncul gambar hidup lain. Menampilkan sosok seorang perempuan yang tampak begitu lembut dan keibuan. Kudengar suara dalam cermin menyatakan bahwa dia istri seorang mantan perwira tinggi polisi juga seorang wakil rakyat. Mungkin semacam anggota parlemen seperti di berita-berita Eropa yang kubaca. Kekagumanku melimpah. Seorang perempuan, istri orang terhormat tapi dia juga bisa punya posisi terhormat, punya hak berbicara atas nama rakyat. Bukan hanya menjadi perempuan pajangan suami, seperti istri-istri bangsawan di tanah ini.

Suara dalam cermin menyatakan bahwa perempuan tersebut juga terlibat korupsi. Aku tak habis pikir. Apa kurangnya menjadi istri orang terhormat? Apa kurangnya mendapat tempat terhormat sebagai wakil rakyat? Apakah dia kurang harta, atau kurang kebebasan?

Cermin kembali berkabut. Kali ini muncul seorang perempuan dengan rambut hitam panjang terurai bagai bidadari khayangan. Bibirnya yang bergincu merah menawan selalu tersenyum penuh percaya diri. Suara dalam cermin menyebutkan dia seorang mantan Putri Indonesia dan seorang wakil rakyat. Dia pasti perempuan hebat, pernah dinobatkan menjadi putri pilihan di seantero nusantara dan dipercaya rakyat nusantara menjadi wakil mereka.

Aku sungguh memasang telinga mendengar suara dalam cermin. Berharap bukan berita buruk lagi yang kuterima. Tapi pilu tak bisa kuhindari saat kudengar peremuan cantik ini pun terlibat kasus korupsi dan akan disidang di pengadilan.

Hatiku terhanyut dalam asa yang luruh. Aku menatap sendu tumpukan buku dan surat di meja tulisku. Haruskah kulanjutkan mimpiku? Seharusnya aku senang karena tampaknya mimpiku di masa depan terwujud. Perempuan bangsa ini bisa tampil, berbicara, dan punya kuasa di luar pingitan, di luar keputren, di luar tembok-tembok rumahnya. Tapi, mengapa mereka menggunakan kebebasan dan jabatan mereka untuk hal-hal yang melanggar undang-undang? Andai saja, sejenak saja, mereka merasakan hidup yang kujalani, mereka akan begitu mensyukuri udara kebebasan yang mereka miliki. Terlalu bersyukur hingga tak perlu lagi berpikir untuk bersentuhan dengan hal-hal di luar undang-undang.

Aku hanya menginginkan setiap perempuan di negeri ini dapat berada di gedung sekolah, bukan terseret ke gedung pengadilan.

Nuraniku mengatasi kekecewaanku. Lirih nuraniku berkata bahwa pasti masih ada banyak perempuan-perempuan lain yang akan berani berjalan sesuai kebenaran di negeri ini. Nuraniku menuntun langkahku ke meja tulis. Pelan kucelupkan pena dalam tinta dan kugoreskan untaikan kata di atas kertas. Kututurkan kembali segala mimpiku tentang setiap perempuan di negeri ini. Aku memang tak akan bisa menginjak negeri seberang samudera dimana aku ingin balajar. Tapi, surat ini akan sampai di sana, menghantarkan mimpiku pada sahabatku di seberang samudera.

Aku selesaikan kata penutup dalam surat itu dan kugoreskan tanda tanganku, “Kartini

sumber gambar: www.nabuz.com

1328852197472463610
1328852197472463610

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun