Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rempang, Ironi Kedaulatan Rakyat

10 Oktober 2023   07:16 Diperbarui: 10 Oktober 2023   07:21 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://achmadnurhidayat.id

Warga Pulau Rempang masih merasa cemas. Masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang, tetap waspada meskipun pulau tersebut batal dikosongkan pada Kamis, 28 September 2023. Pasalnya, pemerintah dan Badan Pengusahaan Batam tidak membatalkan rencana pemindahan penduduk dari kampung-kampung tua, tetapi hanya memperpanjang tenggat waktu. Menurut menteri investasi, Bahlil Lahadalia, rencana pembangunan proyek strategis nasional Rempang Eco-City masih tetap berjalan. Pemerintah hanya "memberi waktu lebih" untuk sosialisasi (BBC Indonesia, 28-9-2023). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih berniat menggusur warga, meskipun entah kapan itu akan terjadi.

Di lain sisi, warga juga tetap konsisten menolak keras penggusuran. Mereka berkumpul di beberapa posko untuk menunjukkan spanduk penolakan relokasi. Namun tetap saja, mereka masih merasa gelisah. Setiap kali ada mobil yang melewati kampung, mereka pun ketakutan. Bahkan, warga juga kesulitan mendapatkan pasokan makanan. Hal ini karena kondisi kampung yang hendak dikosongkan membuat para distributor takut untuk memasok barang. Akibatnya, persediaan bahan pangan pokok warga pun makin menipis.

Melihat masyarakat Rempang yang terancam diusir dari tanah yang sudah mereka tinggali selama berpuluh tahun, menimbulkan pertanyaan bagi kita, lantas siapa yang berdaulat di Rempang? Teori demokrasi mengatakan bahwa "kedaulatan ada di tangan rakyat." Namun sesungguhnya, itu hanya ilusi belaka karena kenyatannya tidaklah demikian. Masyarakat Rempang tidak memiliki daulat atas wilayahnya sendiri. Adanya kasus ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kedaulatan ada di tangan para pemilik modal (kapitalis), bukan di tangan rakyat. 

Menurut Ombudsman RI, masyarakat Rempang sudah berusaha melegalkan tanahnya. Namun, pemerintah menolak permohonan tersebut sehingga mereka tetap tidak memiliki bukti legal kepemilikan rumah. Anehnya, pemerintah justru menetapkan Pulau Rempang sebagai lokasi pengembangan proyek strategis nasional (PSN), padahal kondisinya berpenghuni. Masyarakat jelas menentang kebijakan ini. Terlebih saat lokasi pemindahan belum siap, masyarakat pun makin merasa jika tawaran ganti rugi pemerintah "hanya janji pemanis bibir". Juga, belum ada hukum mengenai uang tunggu, kompensasi rumah pengganti, dan hunian sementara bagi penduduk.

Sementara itu, BP Batam hanya menerima Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN terkait pemberian HPL pada 31 Maret 2023. SK tersebut hanya berlaku hingga 30 September 2023. Pengajuan sertifikat gugur jika sertifikat tidak terbit dalam jangka waktu tersebut. Akibatnya, BP Batam dengan cepat meminta penduduk kampung tua untuk segera meninggalkan wilayah itu. Namun, karena penolakan warga yang begitu masif, BP Batam memperpanjang masa pendaftaran relokasi warga hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Sebenarnya, masyarakat kampung-kampung tua di Pulau Rempang telah ada sejak lama. Mereka memiliki KTP dan membayar pajak bumi bangunan. Selain itu, terdapat banyak bukti, seperti ijazah sekolah, patok tanda batas antarkampung, makam tua, dan tugu. Presiden Joko Widodo pernah berjanji untuk memberikan sertifikat kepada mereka. Sayangnya, semua itu hanya janji di bibir saja.

Demikianlah jika sistem demokrasi kapitalis yang diterapkan, konflik agraria pun akan kerap terjadi, tak terkecuali di negeri ini. Selama ini, pemerintah lebih berpihak pada pengusaha kapitalis daripada rakyatnya. Negara bahkan menggunakan militer untuk mengusir penduduk lokal. Hal inilah yang membuktikan bahwa kedaulatan rakyat yang selama ini digembar-gemborkan demokrasi ternyata hanya sebatas jargon semu.

Jika Islam tegak dalam sebuah negara, maka kedaulatan ada di tangan syara'. Seluruh problem kehidupan akan diselesaikan dengan syariat Islam sehingga terwujudlah keadilan. Dalam negara yang menerapkan sistem Islam, tidak ada pihak yang akan dianak-emaskan. Semua pihak, baik para kapitalis atau rakyat jelata, akan sama di hadapan hukum syara'. Negara dalam sistem Islam berperan sebagai pengatur urusan rakyat. Oleh karenanya, negara akan melindungi rakyat dan menindak siapa saja yang hendak mengambil haknya. Pemimpin negara (khalifah) dilarang menzalimi rakyat dengan alasan pembangunan, apalagi untuk kepentingan para kapitalis. 

Allah Swt. berfirman,

"Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih." (QS Asy-Syura: 42).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun