Pagi itu seperti biasa kulangkahkan kakiku menuju halaman sekolah yang penuh dengan rerumputan hijau. Embun pagi yang tak pernah bosan menyapaku setiap harinya dengan aroma yang khas, bersama hangatnya sinar mentari yang selalu setia memelukku tanpa pernah malu. Aku menuju ruang kerjaku sembari membawa lembar kerja siswa untuk kuberikan nanti saat pelajaran sedang berlangsung.Â
Selagi menunggu bel sekolah berdenting kuayunkan jari jemariku bergelut diatas keyboard agar menghasilkan secercah harapan penyempurna hidup yang tak ayal adalah tugas kuliah. Haha yaa aku adalah mahasiswi tingkat akhir di salah satu universitas Islam Negeri yang terletak di kota yang terkenal dengan apel hijaunya, kebetulan saat ini sedang melaksanakan tugas wajib bernama praktik kerja lapangan didaerah dekat dengan rumahku.
Lambat laun suara teriakan anak-anak mulai berdatangan mengisi seluruh ruangan sekolah yang terbilang cukup besar. Ada yang datang dengan suara yang begitu melengking saking senangnya akan bertemu dengan kawan-kawannya, ada yang datang dengan wajah datar penuh dengan keterpaksaan, ada juga yang datang dengan wajah yang sok cool penuh dengan tanda tanya (haha namanya juga anak-anak).Â
Bahagia rasanya setiap pagiku selalu bertemu dengan mereka, bermain dan belajar bersama tak pernah melelahkan walau akhirnya akan kerasa capek juga.Â
Tapi pagi ini rasanya berbeda dari hari biasanya, saat semua anak-anak mulai memasuki kelas tetapi tidak untuk anak kecil berusia 5 tahun yang sedang duduk disudut tiang memeluk ibunya sambil menangis. Aku terdiam sesaat memerhatikan, lalu setelah kurasa cukup kuberanikan diri untuk menghampirinya.
"Ahmad kenapa tidak masuk ke kelas sayang?" tuturku lembut sembari mengusap pundak Ahmad. Yang ditanyai tak menjawab sedikitpun melainkan hanya membalas dengan tatapan iba seolah-olah meminta belas kasih kepadaku.Â
Aku tak tau sebenarnya apa yang sedang terjadi karena biasanya yang kutau Ahmad bukanlah sosok yang saat ini kulihat, dia adalah anak yang ceria suka berbaur dan bermain bersama dengan teman-temannya.Â
Walaupun dalam mengerjakan pekerjaan masih harus dengan bantuan guru tetapi, bukan itu yang ingin aku bahas saat ini melainkan sebenarnya apa penyebab utama yang membuat Ahmad bisa berubah menjadi sosok yang berbeda pada hari ini.
Aku bisa menangkap kesedihan dari raut wajah Ibu Ahmad, dengan penuh keberanian kucoba mengajak Ibu Ahmad berbincang tentang masalah ini, "maaf bu kalau boleh tau kenapa hari ini sikap Ahmad berbeda dengan hari-hari sebelumnya? Yang saya tau dia biasanya tidak seperti ini bu".Â
"Apa mbak ini wali kelas dari anak saya Ahmad?" tanya ibu Ahmad dengan tutur kata yang tebata-bata.
"Iya bu saya wali kelas Ahmad" jawabku. Tak pernah terduga rasanya saat itu juga akan turun hujan yang sangat lebat, Ibu Ahmad duduk tersungkur dengan derai air mata yang sejak tadi tertahan dipipi sungguh hatiku sebenarnya pilu melihat pemandangan ini.Â