Mohon tunggu...
Annisa Haismaida
Annisa Haismaida Mohon Tunggu... -

University Islamic State (UIN) jakarta\r\nProdi : Journalist

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Harus Adanya Regulasi Pada Konglomerasi Media

10 November 2013   18:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

PENGATURAN KONGLOMERASI MEDIA PENYIARAN
Sejauh ini masyarakat sangat mengikuti perkembangan teknologi yang semakin pesat dan canggih. Informasi secara detailnya tentang apapun yang terdapat dalam dunia teknologi, kini masyarakat secara cepat sudah mengetahuinya . Semua itu berasal dari informasi yang disampaikan oleh sebuah wadah pusat segala pemberi kabar yang dikenal dengan Media. Ya, segala informasi tentang perkembangan teknologi disampaikan oleh Media. Semua disampaikan dalam oleh media dalam 2 bentuk. Pertama media elektronik seperti radio, televisi dan internet, Kedua adalah media cetak seperti Koran, majala dan tabloid. Dari kedua bentuk media penyiaran tersebut, televisi merupakan salah satu media yang paling alternatif dan diminati masyarakat. Selain penyampaian tergabung dalam bentuk audio dan visual, inilah merupakan dari keunggulan membuat masyarakat mudah memahami informasi yang disampaikan. Segala bentuk informasi tentang pendidikan, teknologi, lingkungan, hiburan dunia politik dan lain-lain dapat dimengerti.
Keunggulan dari televisi sebagai media yang paling diminati ini, dimanfaatkan oleh sejumlah beberapa pihak. Beberapa pihak tersebut seperti perusahaan yang mengenalkan produknya, atau sejumlah politisi atau tokoh yang ingin mengenalkan profil mereka sendiri kepada publick umum. Keuntungan yang mereka dapat selain menjadi dikenal publik juga menjadi ajang untuk menaikkan popularitas. Hampir semua masyarakat di Indonesia mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas mempunyai televisi yang merupakan salah satu hiburan alternatif paling banyak disukai masyarakat luas. Maka tak heran media penyiaran ini merupakan salah satu cara tercepat dan diminati untuk menaikkan pamor seseorang.
Berbicara tentang keunggulan televisi inilah yang diminati oleh para tokoh maupun politisi politik demi menaikkan popularitas mereka terhadap masyarakat. Mereka membuat iklan tentang diri mereka demi mendapat simpati dari publik. Melalui iklan itulah merupaka senjata utama mereka. Biasanya iklan yang menyangkut tentang profil seseorang ataupun politisi memiliki duatipe dan dimanfaatkan saat masa kampanye pada ajang pemilihan. Pertama iklan dalam bentuk komersil, kedua iklan dalam bentuk layanan masyarakat sebagaimana yang disampaikan dalam PKPU No. 1 Tahun 2013 pada pasal 40 ayat 1.
Selain dari kedua tipe bentuk pengiklanan diri tersebut, ada peraturan-peraturan lainnya yang harus dipatuhi. Pihak yang memanfaatkan iklan untuk mengenalkan dirinya juga dibatasi oleh batas waktu tertentu yaitu paling lama tiga puluh detik untuk disetiap stasiun televise. Ini juga tertera pada PKPU no 1 tahun 2013 pada pasal 43. Dari beberapa sejumlah pihak saya melihat ada yang mematuhi adanya peraturan in sebelum disahkan. Namun ada juga beberapa pihak tidak mentaati peraturan ini. Biasanya beberapa pihak tersebut merupakan elite yang menaungi sebuah media. Sehingga nilai-nilai regulasi tentang kepemilikan media tidak ada nilainya. Jelas beberapa elite tersebut merupakan politisi yang mensponsori tersebut memiliki tujuan tertentu. Dalam artian mereka penguasa media yang juga terlibat dalam dunia politik mempunyai hak untuk melakukan kampanye sebelum waktu yang ditentukan. Dalam hal ini tentu telah dilarang dalam UU No. 10 .
Masyarakat yang belum mengerti hal ini, hanya akan menganggap lumrah, saat para awak pemilik media yang juga terlibat dalam ajang pemilihan mengiklankan dirinya pada stasiun televsi yang mereka miliki. Masyarakat mengerti mereka selalu memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan disiarkan dalambentuk iklan maupun kedalam berita dalam program acara karena media itu adalah milik mereka. Jadi mereka memiliki hak akan apa yang mereka kuasai. Pandangan saya sebelum ada UU NO.10 dan Keputusan MK pada tahun 2012 yang baru-baru ini ditetapkan mengenai penyiaran. Isi dalam pasal-pasalnya lebih banyak menekankan untuk para elite politik yang memiliki beberapa perusahaan media membatasi diri. Maksudnya, agar tidak melakukan kampanye kecil-kecilan, sebelum waktu yang ditentukan jjika mereka mengikuti pemilu. Namun saya melihata hanya beberapa yang mentaati perturan ini. Mereka banyak mencuri start lebih dahulu sebelum waktu yang ditentukan.
Beberapa stasiun televise yang merupakan konglomerasi atau gabungan dari beberapa perusahaan media dimiliki oleh para tokoh elite yang cukup dikenal masyarakat. Misalnya saja RCTI, GlobalTV, MNCTv serta MNC Grup yang memiliki beberapa jenis channel di dalam siaran televise kabel dimiliki oleh Harry Tanoesodibyo. Selain dikenal penguasaha yang memiliki banyak media, ia juga dikenal salah satu politisi elite. Sebelumnya ia bersama dengan Surya Paloh yang juga seorang pengusaha pemilik media bekerja sama dalam partai politik baru yaitu Parta Nasional Demokrat (Nasdem). Namun kebersamaannya tidak berlangsung lama, ia mengumumkan dirinya keluar dari Partai Nasdem dan bergabung bersama Partai Hanura.
Lalu ada, ANTV dan Tv One dimiliki oleh salah satu politisi elite yaitu Aburizal Bakrie. Ia merupakan salah satu calon Presiden yang akan maju untuk periode 2014-2019 bersama partai yang mengusungnya yaitu Partai Golkar. Ada beberapa anggapan, Aburizal tidak mentaati apa yang telah ditetapkan dalam peraturan UU. Melalui media yang dimiliki, ia selalu gencar mempromosikan dirinya dalam bentuk iklan dan berita kedalam program acara bertitanya.Hal itu dimanfaatkan untuk menaikkan popularitasnya menjadi presiden.
Hal yang sama dilakukan oleh pemilik media stasiun televisi Metro Tv yaitu Surya Paloh. Selain pemilik mediaia juga merupakan menaungi partai yang dibuatnya yaitu Partai Nasional Demokrat. Sebelumnya ia bekerja sama denga pasangan duelnya yaitu Hary Tanoesodibyo yang akhirnya memilih keluar. Sebelumnya pasangan ini merupakan salah satu pasangan kandidat yang disegani karena sama-sama memiliki perusahaan media swasta terbesar di Indonesia.
Dapat dikatakan beberapa media besar yang disebutkan tadi mulai dimonopoli oleh para pemiliki modal dan juga bersifat homogen. Kebebasan pers kini sudah diracuni oleh para konglomerasi yang mencampurkan kepentingan bisnis dan politik. Mungkin tidak hanya media-media yang disebutkan saja yang dimonopoli oleh pemiliknya. Tetapi sudah mulai banyak media group dimanfaatkan demi kepentingan pemiliknya. Bahkan bagi Supadiyanto mahasiswa program pascasarjana Magister Ilmu Komunikasi, Undip dalam tulisannya di media eletronik, Koran-Jakarta.com dalam rubrik gagasan tentang Konglomerasi Media. Ia menganggap bahwa Masyarakat hanya memiliki tiga perusahaan media yang dikatakan milik "publik", yakni TVRI, RRI, dan Antara, namun mereka lebih sering melayani kepentingan pemerintah.
Ini menarik untuk dibicarakan karena jika diteruskan seperti ini, bagi para calon kandidat yang menyaingi mereka tentu sulit untuk mengalahkan popularitas mereka yang memiliki media. Tentunya menimbulkan kecemburuan sosial. KPU memang sudah mewanti-wanti akan permasalahan ini namun masih saja hal ini digubrisnya. Jika dihentikan pun mereka masih memiliki akses untuk melakukan kampanye nya melalui dunia siber. Ini dikarenakan masih adanya kerancuan dalam peraturan yang ditetapkan dalam UU Peraturan Dewan Pers Nomor 1/2012 tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber mendefinisikan media siber sebagai “segala bentuk media yang menggunakan wahana internet”.Dan ini juga dijelaskan dalam tulisan rubrik MEDIA di Majalah GATRA Edisi 6 Februari 2013 yang dipaparkan oleh Asrori Karni yang merupakan Dosen dan juga pengamat media. Kewajiban media menampilkan iklan layanan masyarakat di Pasal 43 juga tidak menyebut media online. Padahal, Pasal 41 sampai 43 diancam sanksi, termasuk bredel. Media online disebut dalam pasal tentang kewajiban eimbang dalam berita (Pasal 38) dan iklan (Pasal 40). Giliran kena media online, tak ada sanksi untuk Pasal 38 dan 40 itu. Hal ini jugamenjadi permasalahan yang harus diselesaikan demi berjalan Negara yang demokratis.
Jika konglomerasi media ini terus berlanjut tentunya akan berdampak yang tidak baik terhadap masyarakat. Ini akan membentuk berbagai pandangan pendapat yang tidak sehat. Jika media awalnya dikenal dengan sumber segala informasi apapun, kini dapat dikatakan merupakan sumber informasi bagi para calon politisi yang akan maju mengikuti pemilu. Bisa juga dikatakan ajang iklan para elit politik yang ingin menaikkan popularitasnya.Sehingga awalnya regulasi untuk menghibur masyarakat menikmati informasi kini telah dimonopoli untuk kepentingan bisnis ataupun politik pribadi.
Sumber :
·Majalah GATRA – MEDIA “Aturan Kampanye Media” , 6 Februari 2013
·Koran- Jakarta.com – Gagasan “Konglomerasi Media” 27 Februari 2013
·PKPU No. 1 tahun 2013
·UU Pemilu No. 8 tahun 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun