Beberapa bulan terakhir ini, Melia mengambil banyak keputusan di luar kebiasaannya, yang sangat amat berkaitan dengan kata malas dan uang. Lalu kini ia berada di ambang kebingungan akan bagaimana ia akan hidup kedepannya.
"La, kenapa si gua harus nekat ambil jalan yang ini? Kenapa gitu? Padahal aku bisa aja santai-santai tanpa dikejar deadline kalo ga ambil cara ini."
Lano mendengus, ia menatap Melia dengan serius, wajah tampan itu tak dapat mengalihkan mata Melia untuk melihat hal lain. Tapi gadis itu bersikeras melarikan pupil matanya ke arah lain. Salting, begitulah yang Melia perlihatkan di hadapan Lano saat ini.
"Mel, lo itu plin plan. Kadang gua kadang aku nyebut diri sendiri aja. Yang bikin lo ragu buat ngejalani pilihan yang lo ambil, itu karena harusnya lo yakin sama pilihan lo sendiri Mel."
Melia tersenyum, ia yang sebelumnya tampak salting, kini ia malah tersenyum jail pada Lano.
"Gua yakin, lo mau jadi suami gua. Iya kan La. Yakin banget gua." Lano memalingkan wajahnya, sekejap ia tersenyum tipis, untungnya Melia melihatnya, karena ekspresi Lano saat ini amat langka, Lano biasa menampilkan raut muka dingin, serius atau lebih sering malah galak.
Tak lama Lano kembali menampilkan raut muka serius dan ia berkata, "kaya gitu jangan dibuat bercanda Mel, itu ga lucu. Ada baiknya beresin dulu semua deadline lo. Sebelum lo cari dan nambah masalah baru. Gua tunggu lo dalam versi terbaik lo.
Begitu juga gua yang meningkatkan kualitas hidup gua. Bye Mel." Lano pergi meninggalkan Melia entah ke mana dan sampai kapan. Yang pasti sore itu di perbatasan kota, Melia melihat kepergian Lano mengendarai motor besarnya menuju tempat antah berantah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H