Pemilihan Kepala Daerah Tangerang Selatan telah berlangsung pada Desember  2020. Pemilihan tersebut terdapat tiga pasangan calon (paslon) yang maju sebagai Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan.Â
Pasangan nomor urut 1 adalah Muhamad - Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (Sara). Mereka diusung dari partai PDI-P, Partai Gerindra, PAN, PSI, dan Hanura, dengan total 23 kursi di parlemen Tangerang Selatan. Pasangan nomor urut 2 adalah Siti Nurazizah (Azizah Ma'ruf) - Ruhamaben.Â
Mereka diusulkan Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Koalisi tiga partai itu punya 17 kursi di DPRD Tangerang Selatan. Adapun pasangan nomor urut 3 adalah Benyamin Davnie - Pilar Saga Ichsan yang diusulkan Partai Golkar. Tiga partai tanpa kursi di DPRD Tangerang Selatan ikut mendukung pasangan ini, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Gelora.
Dalam masa kampanye politik Pilkada Tangerang Selatan terdapat sebuah kecurangan dari pasangan calon (paslon) yang dimana mereka melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilu berlangsung.
Paslon terindikasi melakukan mobilisasi terhadap ASN, bahkan ada juga beberapa ASN di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) dan Kementerian Agama (Kemenag) Kota Tangerang Selatan, yang masuk sebagai tim pemenangan paslon. Berdasarkan UU No 10 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 2 huruf (f) disebutkan bahwa, "penyelenggaraan dan manajemen ASN berdasarkan netralitas". Selain itu dalam  UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada, Pasal 70 ayat (1) point (b), secara tegas disebutkan bahwa "Dalam kampanye, pasangan calon (paslon) dilarang melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN)."
Dalam sistem pilkada berlangsung, posisi ASN selalu disalahgunakan untuk jadi alat bermain dalam pemilu. ASN sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang harus bersikap netral dan tidak berpihak kepada kepala daerah yang menjadi calon peserta pilkada.Â
Konsekuensi yang dihadapkan ASN dalam pemilu berlangsung, calon yang berada dalam pilkada yang didukungnya nanti menang berarti karir jabatannya akan naik. Namun sebaliknya, jika calon tersebut kalah dalam pemilu maka karir jabatannya terancam terhambat ataupun terhentikan.
Pilkada langsung berkonsekuensi terhadap birokrasi (PNS) dalam memposisikan dirinya ketika berhubungan dengan politik. Di satu sisi, PNS harus bersikap netral.Â
Di lain sisi, PNS dihadapkan pada kekuatan politik yang kuat pengaruhnya terhadap netralitas PNS. Situasi ini memposisikan PNS dalam situasi yang dilematis untuk tetap bersikap netral atau sebaliknya. Keterlibatan PNS dalam mendukung peserta pilkada memberikan kontribusi terhadap fragmentasi dan friksi politik internal dan terganggunya pelayanan publik.
Ideal dalam kewenangan pembinaan terhadap PNS seharusnya tidak berada dalam tangan pejabat politik seperti gubernur, bupati, ataupun wali kota tetapi harus dilakukan oleh pejabat karir.
Pembinaan PNS tersendiri dapat dilakukan oleh Sekretaris Daerah atau Badan Pertimbangan Jabatan Dan Kepangkatan (BAPERJAKAT). Hal ini penting untuk lebih menjaga netralitas PNS sebagai institusi non politik (birokrasi), maka pejabat Pembina-nya harus bukan dari pejabat politik.