Odapus. Ya, saya adalah seorang penikmat Lupus - saya menolak jika disebut sebagai penderita lupus, karena sebuah penyakit tidak melulu merupakan sebuah penderitaan, banyak cerita dan hikmah yang bisa kita rasakan.
Waktu itu tahun 2007, usia saya 8 tahun ketika tiba-tiba tubuh saya demam disertai munculnya beberapa bintik merah di kaki dan tangan. Ibu saya mungkin takut saya terjangkit demam berdarah, sehingga saya di bawa ke rumah sakit untuk memeriksakan darah. Entah bagaimana hasilnya karena saat itu saya masih terlalu kecil untuk mengetahuinya. Yang jelas, kemudian saya di opname. Dokter yang menangani saya mendiagnosa bahwa ini adalah penyakit radang ginjal akut. Namun dokter bingung dengan keadaan saya yang agak lain dengan orang yang mengalami penyakit sama. Â Saya sempat mendapat transfusi darah dan dirawat selama seminggu sebelum akhirnya dirujuk ke sebuah rumah sakit di Surabaya.
Di sana, saya ditangani oleh seorang profesor ahli ginjal anak. Bahkan seorang profesor pun masih kesulitan mencari apa sebenarnya penyakit saya. Berbagai metode dilakukan hingga mengirim sampel darah saya ke luar negeri. Akhirnya dokter sampai pada kesimpulan bahwa saya terkena penyakit lupus. Kasus lupus, waktu itu masih belum semarak sekarang. Bahkan dokter masih ragu-ragu dalam memvonis pasien. Saya hanya pasrah dan menuruti apa kata dokter dan orang tua. Tak tahu bahwa sedang terancam karena penyakit yang berbahaya. Tak tahu bahwa diam-diam, orang tua saya selalu menangis dan berdoa untuk kesembuhan saya.
Saya dirawat di rumah sakit tersebut selama lebih dari 2 bulan dan di usia yang sangat muda saya sudah sempat menjalani cuci darah sebanyak 4 kali. Belum selesai di situ, sepulang dari rumah sakit saya tetap harus istirahat dan  tidak bisa bersekolah sampai dokter memperbolehkan. Makanan pun tetap harus dijaga. Karena ginjal saya bermasalah, semua makanan yang mengandung protein nabati (tumbuh-tumbuhan) tidak boleh saya makan. Bahkan roti tawar yang terbuat dari gandum juga dilarang sehingga saya selalu diberikan roti kentang. Sumber protein saya dapatkan dari ikan kutuk (diasap, cair, maupun kapsul) yang memang terkenal dengan kadar proteinnya yang tinggi. Minum air pun dibatasi. Bayangkan, dalam sehari saya hanya boleh minum sebanyak sekitar satu botol kemasan tanggung. Pemasukan dan pengeluaran  air selalu dicatat. Tekanan darah saya pun tinggi, pernah mencapai angka sistol 200 (di usia 8 tahun!) sehingga saya harus menggunakan garam khusus hipertensi yang harganya selangit. Begitu juga dengan susu.. Harus khusus.
Itu tak berjalan selamanya, beberapa bulan kemudian saya sudah bisa menjalani kehidupan seperti biasa. Sekolah, bermain, makanan dan minuman sudah dibebaskan. Saya senang bisa makan tahu dan tempe lagi, hehehe. Dan akhirnya sampai sekarang, saya tetap bisa beraktivitas normal (sempat kambuh di 2011, 2015, dan 2016), asal tidak lelah fisik, stress, dan juga dilarang kena sinar matahari! (Sampai-sampai saya dibekali dengan kacamata hitam ke sekolah, hahaha).
Sekarang usia saya sudah 17 tahun (yang artinya sudah sektiar 9 tahun saya hidup dengan lupus), dan sekarang saya sudah dapat mencari tahu dan mengenal lebih luas tentang lupus ini. Meskipun kadang takut parno, tapi tetap kepo, hehehe. Makin kesini saya mendapati makin banyak orang-orang disekitar saya yang juga terkena lupus, alias ODAPUS (entah saya harus merasa keren atau justru menakutkan, karena orang dengan penyakit ini sampai memiliki nama khusus seperti layaknya penyakit HIV/AIDS yaitu ODHA).Â
Kadang saya menjadi termotivasi karena saya tak sendiri, tapi sering pula saya bergidik ngeri karena mendengar berita pasien yang meninggal karena penyakit ini di usia muda. Hm, hidup dan mati di tangan Allah..
Meski dokter bilang penyakit ini belum ada obatnya, tapi penyakit ini dapat "dijinakkan" sehingga pasien terlihat seperti orang normal saja. Yang penting tetap berusaha menjaga kesehatan dan juga berdoa untuk kesembuhan.
Untuk saudara-saudara ODAPUS-ku di luar sana, semangat!
Salam hangat dari saya,
Nisrina Arrifda (nsdgawa@gmail.com)Â