Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% telah memicu berbagai diskusi mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Kenaikan tersebut memang terlihat seperti kenaikan yang kecil, namun dampaknya terhadap ketimpangan ekonomi di Indonesia bisa sangat signifikan. Â Sebagai pajak konsumsi yang bersifat regresif, PPN dikenakan secara merata kepada seluruh masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan tingkat pendapatan. Akibatnya, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan kelompok kaya. Dengan kata lain, kenaikan PPN berarti kelompok miskin harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar yang semakin mahal. Sementara itu, kelompok kaya, yang memiliki lebih banyak cadangan keuangan dan pengeluaran konsumsi yang lebih rendah dibandingkan pendapatan mereka, tidak terlalu terdampak oleh kebijakan ini.
Dampak kenaikan PPN pada harga barang dan jasa juga menjadi perhatian utama bagi masyarakat saat ini. Peningkatan tarif PPN pasti akan memicu kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok seperti makanan, transportasi, dan barang sehari-hari lainnya. Ketika harga kebutuhan dasar meningkat, masyarakat miskin yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan harian akan semakin tertekan. Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan PPN dapat mengurangi daya beli masyarakat secara signifikan, terutama pada kelompok berpenghasilan rendah. Kondisi ini memperburuk situasi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, memperbesar kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin. Selain itu, inflasi dapat memengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan, yang pada akhirnya menciptakan dampak domino pada berbagai sektor lainnya.
Tidak hanya konsumen, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga akan terkena imbas dari kenaikan PPN. UMKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia sangat bergantung pada daya beli masyarakat untuk keberlangsungan usaha mereka. Dengan kenaikan harga barang dan jasa akibat peningkatan tarif PPN, konsumen mungkin akan mengurangi pengeluaran untuk produk-produk UMKM, terutama yang bukan termasuk kebutuhan primer. Selain itu, biaya produksi bagi UMKM juga akan meningkat karena kenaikan harga bahan baku dan operasional yang terkena PPN. Penurunan keuntungan yang dihadapi UMKM dapat melemahkan daya saing mereka, terutama jika dibandingkan dengan perusahaan besar yang memiliki sumber daya lebih baik untuk menyerap kenaikan biaya.
Kenaikan PPN juga membawa dampak terhadap ketenagakerjaan. Ketika UMKM, yang menyerap sebagian besar tenaga kerja Indonesia, menghadapi tekanan finansial akibat penurunan permintaan dan kenaikan biaya operasional, kemungkinan besar mereka akan mengurangi jumlah pekerja. Hal ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran, yang secara langsung memengaruhi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam jangka panjang, ketimpangan ekonomi akan semakin melebar, mengingat kelompok ini memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan pekerjaan baru atau meningkatkan keterampilan mereka.
Sebagai solusi, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kebijakan pajak yang lebih progresif untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani kelompok masyarakat rentan. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah meningkatkan pajak penghasilan bagi kelompok super kaya atau menerapkan pajak kekayaan. Kebijakan ini tidak hanya lebih adil, tetapi juga lebih efektif dalam mengurangi ketimpangan ekonomi. Selain itu, pemerintah perlu mengalokasikan dana dari kenaikan PPN untuk program perlindungan sosial yang dapat membantu kelompok miskin, seperti subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan demikian, dampak negatif dari kenaikan PPN dapat diminimalkan, dan kebijakan tersebut dapat berkontribusi pada pembangunan yang lebih inklusif.
Secara keseluruhan, kenaikan PPN menjadi 12% memiliki risiko besar dalam memperburuk ketimpangan ekonomi jika tidak disertai dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Beban yang tidak proporsional terhadap kelompok miskin, kenaikan inflasi, dampak pada UMKM, dan potensi meningkatnya pengangguran adalah beberapa ancaman utama yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, kebijakan ini harus diiringi dengan pendekatan yang lebih adil untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga inklusif dan mampu mengurangi kesenjangan ekonomi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H