Televisi Indonesia memang sangatlah bersifat abstrak, macam-macam. Apapun yang memungkinkan akan ditayangkan. Bahkan mereka tidak peduli dengan etika dalam penyiaran, yang penting hanyalah menampilkan program acara yang menyenangkan dan meningkatkan rating tanpa peduli apakah berkualitas atau tidak.
Semua stasiun televisi berduyun-duyun memproduksi program acara berita tanpa mempedulikan kaidah-kaidah dalam jurnalisme. Mereka selalu memikirkan rating yang akhirnya dapat memberikan mereka iklan, dan kualitas dari sebuah program acara tidak menjadi prioritas utama.Â
Stasiun tidak berdiam diri setelah menayangkan suatu program acara yang dikira relevan dengan segmen yang diharapkan. Mereka perlu mengetahui apakah benar pemirsa yang diharapkan itu menonton telvisinya atau tidak, juga seberapa banyak pemirsanya (Panjahitan & Iqbal, 2006, p. 19).
Selama ini, hasil-hasil rating dari Nielsen Media Research (NMR) ternyata menunjukkan bahwa pemirsa televisi hanya sering menonton program acara dengan genre-genre tertentu.Â
Dinamika kepemirsaan menunjukkan sebuah data yang statis. Angka rating pada suatu program acara terkadang (selalu) terlalu besar, sedangkan pada program acara lain angkanya (selalu) begitu kecil. Rating begitu keras memacu sebuah keinginan untuk meniru, bukan mencipta dari para produser. Kecenderungan seperti itu tak terhindarkan karena para media planner (pengiklan) selalu base on rating.
Penggunaan angka rating sebagai dasar penilaian keberhasilan program televisi ini menentukan hidup atau matinya program. Jika angka rating nya tinggi, program acara bisa dipastikan dapat dipertahankan, bahkan jika perlu ditambah durasinya. Sebaliknya, jika angka ratingnya rendah, program acara tersebut terancam akan dikeluarkan dari programming acara (Junaedi, 2019, p. 110).
Rating, tentunya tidak selalu berhubungan dengan suka atau tidak suka karena menonton belum tentu suka dengan program tersebut. Bisa jadi, penonton menontonnya hanya karena ingin meramaikan suatu tempat agar tidak sepi tanpa peduli program acara apa yang dipertontonkan oleh televisi.Â
Bila stasiun televisi menampilkan sebuah program acara yang mengedukasi seperti film-film berbahasa inggris, atau pun program acara mengenai ilmu pengetahuan, tetapi ternyata program acara yang berkualitas itu malah tidak ditonton oleh masyarakat. Program tersebut kalah dengan program acara seperti dangdut, misteri, kriminal, dan program-program lainnya yang menghibur.Â
Menurut Direktur Pemberitaan Trans TV, Riza Primadi, rating merupakan alasan utama ditayangkannya sebuah program acara. Meskipun sebuah acara dikatakan jelek, tidak mendidik, namun bagaimana pun itu merupakan bentuk keinginan masyarakat sendiri (Panjahitan & Iqbal, 2006, p. 19).
Program acara televisi yang mengejar rating seringkali tidak peduli dengan apa yang mereka tampilkan, bahkan seringkali pula mereka tidak tahu bahwa terdapat sebuah pelanggaran yang mereka lakukan dalam program tersebut. Seperti misalnya program acara tersebut menunjukkan sebuah kekerasan ataupun pornografi dan eksploitasi seks.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), merupakan lembaga yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia seringkali mengeluarkan kartu peringatan terhadap program televisi yang melanggar peraturan undang-undang dalam penyiaran. Namun tidak semua pelanggaran hanya bisa dinilai atau dilihat oleh KPI, kita sebagai penonton juga dapat melihatnya bila mengamati program acara televisi tersebut dengan jeli.