Kebebasan informasi, terutama melalui platform digital seperti media sosial, memberi ruang bagi siapa saja untuk menyuarakan pendapat, menyebarkan informasi, bahkan melakukan kritik terhadap berbagai pihak. Pada satu sisi, ini merupakan langkah besar bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi. Namun di sisi lain, kebebasan ini juga kerap disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak valid, bahkan fitnah dan ujaran kebencian.
Dalam konteks Sila Kedua, kebebasan informasi semestinya menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan dan adab. Namun, ketika kebebasan ini digunakan untuk memperkuat polarisasi, menghancurkan solidaritas sosial, atau menebar kebencian, nilai-nilai kemanusiaan yang diidealkan oleh Pancasila justru terancam.
 Tantangan Pendidikan dan Literasi Digital
Polemik seputar Sila Kedua dalam era post-truth dan kebebasan informasi juga terkait erat dengan rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat. Banyak orang belum mampu memverifikasi informasi yang diterima, atau tidak kritis dalam menyaring sumber berita yang valid. Hal ini diperburuk dengan adanya algoritma media sosial yang cenderung menampilkan informasi yang memperkuat pandangan pribadi, bukannya menyajikan fakta yang berimbang.
Peningkatan literasi digital menjadi salah satu solusi untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan di tengah derasnya arus informasi. Dengan literasi digital yang baik, masyarakat dapat lebih kritis dalam memilah informasi yang beredar dan lebih peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.