Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Drama

Sepenggal Kisah Abu Ali

10 Juni 2016   17:47 Diperbarui: 10 Juni 2016   18:26 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Percakapan antara Abu Ali (Ibnu Sina) dengan istrinya, Jasmine, pada suatu malam.

Abu Ali mengangkat kepalanya, mengamati langit yang penuh bintang. Lalu ia menoleh pada istrinya dan berkata, “Kau masih ingat apa yang pernah kukatakan bahwa aku bukan laki-laki yang bernasib mujur? Apakah kau percaya kata-kataku itu?”

“Sebagaimana Allah telah menciptakan dirimu berbeda dari orang lain dan menciptakan kemampuanmu yang juga berbeda dari yang dimiliki orang lain, maka begitu pula hidupmu yang juga tidak seperti hidup mereka,” kata Jasmine.

“Mengapa kesusahan dan penderitaan selalu menyertai hidupku? Sejak berumur 16 tahun, aku sudah tersesat dan terdampar di gurun pasir,” kata Abu Ali. Seperti perenang yang sedang mengarungi aliran air yang sangat deras, Abu Ali diam. Beberapa detik kemudian, ia kembali melanjutkan, “Tahukah kau betapa banyak rahasia yang disimpan malam? Aku selalu merindukan malam. Malam dan malam. Setiap malam berlalu, kerinduanku padanya semakin besar. Malam hampir mirip mukjizat, di dalamnya berbaur beragam benda dan segala sesuatu. Semuanya mirip. Saat malam, warna-warna menjadi hilang dan raja tenggelam dalam tidurnya, tak berbeda dari hamba sahaya. Saat malam, seorang ayah seperti anak kecil. Dunia pun berhenti bernapas. Andai saja manusia hidup pada malam hari selamanya.”

Mendengar kalimat panjang Abu Ali, Jasmine langsung menangis dan berkata, “Jangan bicara seperti itu lagi, Syekh. Saat kau bicara seperti itu, aku merasa seperti orang asing di hadapanmu. Aku mendengar suara dan seolah-olah itu bukan berasal darimu, padahal keluar dari mulutmu. Aku selalu berharap kau berbicara kepadaku tentang matahari, tentang air yang mengalir, tentang laki-laki yang berjuang melawan kezaliman, atau tentang orang yang selalu memerangi rasa sakit, lapar, dan penyakit. Aku selalu berharap kau berbicara tentang sesuatu yang membuatku terbiasa dengannya. Apakah kau tahu, saat kau bepergian maka akulah yang pergi? Saat kau berbicara tentang kematian, akulah yang sebenarnya mati. Aku mohon, Syekh……”

 

(Dikutip dari novel biografi karya Husayn Fattahi, Tawanan Benteng Lapis Tujuh)

 

Catatan dari pengutip:

Entah mengapa percakapan ini begitu merasuk dalam pikiranku, mungkin karena dalam percakapan ini menunjukkan bahwa Abu Ali juga hanyalah manusia biasa. Pada saat masa sulit ia juga mengeluh, walau itu tak kemudian menjadikannya surut langkah untuk terus menjalani apa yang dicintainya, yaitu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada Al Qur-an demi kemaslahatan umat.

Selain itu, percakapan ini begitu mengena, mungkin juga karena pemahaman Abu Ali tentang malam. Karena menurutku malam memang menyimpan kemisteriusannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun