Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenangan Dini Hari yang Menyedihkan

10 Juli 2015   23:26 Diperbarui: 10 Juli 2015   23:26 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jerit tangis memilukan keluar dari mulut tiga bocah cilik. Hari itu masih jauh dari terang, karena adzan subuh baru saja berkumandang. Mereka menangis sambil terduduk di lantai yang dingin, demi melihat sebuah pemandangan yang tak pantas dilakukan seorang ayah pada ibu mereka. Sang ibu berusaha sekuat tenaga untuk tak menangis, namun apa daya, embun itu tetap saja mengalir dari sudut matanya walau tak ada suara.

Hilang sudah impian tiga bocah itu untuk menikmati suasana subuh bersama ayah dan ibunya tercinta. Padahal mereka sudah membayangkan, betapa indahnya pagi itu. Jogging bersama orang tua untuk kemudian istirahat di taman dekat kompleks rumah. Di sana mereka bisa bermain sepuasnya bersama anak-anak yang sebaya, karena memang setelah subuh di Bulan Ramadhan, taman biasanya ramai dikunjungi penghuni kompleks bersama keluarga kecilnya untuk bersantai.

Beberapa saat sebelum itu, pada waktu makan sahur si bungsu berkata, “Ayah, nanti kita jadi kan lari pagi?”

Raut muka sang ayah langsung berubah, tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

“Iya, yah, nanti setelah lari memutari kompleks, kita istirahat di taman, pasti menyenangkan,” sahut anak yang nomor dua sambil tersenyum gembira.

Sang ayah masih saja tidak menjawab.

Si sulung, mungkin karena sudah remaja, dia agak mengerti dan bisa membaca raut muka ayahnya. Dia memilih diam. Sang ibu juga lebih bijak menyikapi, beliau berkata dengan lembut, “Sudah, sudah… Kalian makan dulu, tidak baik mengobrol dengan makanan masih penuh di mulut.”

Wajah sang ayah menunjukkan kelegaan sedikit. Si sulung tetap diam, sedangkan adik-adiknya terlihat agak merengut. Mereka melanjutkan sahur dengan diam. Yang terdengar hanya bunyi dentingan sendok beradu dengan piring.

Setelah selesai, mereka beralih dari ruang makan ke ruang keluarga, bercengkrama sambil menunggu adzan subuh. Namun sang ayah tidak seperti biasanya, dia langsung menuju kamar dan menutup pintu dengan keras. Sang istri dan ketiga anaknya tersentak. Mereka saling berpandangan dalam diam.

Pelan-pelan sang istri menuju kamar dan membuka pintu. Dia tak pernah menyangka bahwa apa yang terjadi kemudian di kamar itu, tak akan terlupakan seumur hidup, baik bagi dirinya maupun bagi anak-anaknya.

Kemudian pecahlah tangis mereka, karena pintu terbuka dan mereka melihat semua adegan yang tidak mengenakkan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun