Matanya merah membara, suaranya menggelegar, tak heran bila semua orang takut padanya. Namun tidak denganku, aku sudah muak dengan semuanya. Ibu sudah mati, tak ada lagi yang menghalangiku untuk melawannya.
Balok kayu di tangannya mengayun dengan mantap, dan tak ragu pula aku menangkapnya. Ternyata kebencian yang besar dapat mendatangkan kekuatan yang tak terkira sebelumnya. Aku yang hanya seorang anak remaja tanggung dengan tubuh kurus melawan dedengkot preman dengan tubuh tinggi kekar.
Kudorong tubuhnya dengan bantuan balok kayu yang masih dalam genggamannya. Wajahnya terkesiap, tidak menyangka remaja seperti aku dapat melawan kekuatannya. Dengan sekali hentak, kurebut balok kayu itu kemudian kubuang jauh-jauh.
“Terimalah ini sebagai tanda hormatku padamu, ayah!”
Kuda-kuda kumantapkan, dan kepalan tanganku langsung mengarah ke ulu hatinya.
Lelaki itu terjerembab tak bangun lagi. Aku melangkah pelan keluar area terminal, dengan meninggalkan pandangan ngeri di wajah para preman.
***
Senja kelabu. Sejauh mata memandang, semuanya hanya abu.
Pada onggokan tanah merah yang masih basah itu aku bersimpuh. Diam. Khusu'. Sebuah kediaman dan kekhusu'an yang amat panjang dan dalam.