Kuraba perlahan tonggak kemuning di ujung gundukan. Butiran bening menitik dari mataku seiring dengan doa sepenuh hati yang kulantunkan untuknya.
"Maafkan aku, ibu. Aku telah menjadi angin yang menentang badai."
Dalam temaram senja kutinggalkan kubur ibu. Langkahku penuh. Gagah walau lelah, sebab membalas dendam pada sosok yang pernah menjadi perantara kehadiranku di dunia jelas bukanlah sesuatu yang pantas untuk dibanggakan.
Aku adalah pemenangnya. Sebuah kemenangan yang entah mengapa terasa begitu kalah.
Dengan diam kembali kumelangkah, dan berharap entah di suatu senja yang mana aku dapat menemukan ketenangan walaupun sedikit.
Sayup masih terdengar rintihan burung kedasih di kejauhan. Dan entah mengapa aku merasa nadanya begitu pilu.
Â
Shadow of Great Learner, Juni ke-26
Â