Bingkisan sederhana itu tergeletak di pangkuanku dengan manisnya. Masih teringat sepulang menjajakan koran sore tadi, mataku tertumbuk pada mukena yang terpajang di sebuah toko.
Kudekati dan kusentuh. Ternyata bahannya adem, dan motifnya juga bagus. Kulirik harganya. Rp. 60.000,-. Aku ingat uang yang ada di kantongku tadi Rp. 65.000,-. Alhamdulillah cukup sekaligus untuk biaya membungkusnya sebagai kado. Aku tersenyum membayangkan betapa senangnya ibu. Beliau pasti langsung memakainya, karena kebetulan mukena yang lama sudah robek di beberapa tempat.
Maafkan aku, bu, mungkin aku pulang terlambat, karena harus berjalan kaki sampai ke rumah. Semoga engkau tidak cemas, bu.
Aku terus melangkah dengan hati riang. Sesekali kupandangi bingkisan itu, dan lagi-lagi aku tersenyum.
Aku sudah mencapai setengah perjalanan, ketika tiba di sebuah perempatan yang biasa dilalui oleh kendaraan-kendaraan besar dan panjang. Matahari hampir terbenam dan jalanan lumayan sepi, sehingga aku dapat menyeberang dengan tenang setelah menoleh ke kanan dan kiri.
“Awas, nak!” teriak seorang lelaki setengah baya kepadaku, namun aku tak mengerti apa maksudnya.
“Brakkk…!!!”
Suara tumbukan yang cukup keras terdengar. Rasanya ada yang berteriak di kepalaku.
Sepertinya terjadi kecelakaan parah, dan orang-orang mengerubungi tempat kejadian. Penasaran juga sebenarnya ingin melihat korban, mungkin ada yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Tapi aku ingat ibu. Aku tidak ingin ibu khawatir, selain itu aku ingin segera memberikan bingkisan untuk ibu. Akhirnya aku meneruskan langkah pulang
Sesampainya di rumah, lampu belum dinyalakan. Itu berarti tidak ada orang di rumah. Bagiku sangat aneh, karena ibuku tidak suka pergi ke luar rumah setelah matahari terbenam. “Ora ilok, Nduk, yen cah wadon metu ngomah wis peteng.” Berarti memang ada keperluan yang sangat penting, sehingga ibuku keluar rumah.
Belum sampai hilang kecemasanku, tiba-tiba ibu datang dengan wajah sembab. Aku mencoba menyapa dan menanyakan ada apakah hingga ibu begitu sedih. Namun tanyaku tak berjawab, karena ibu terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku pun terdiam tak berani bertanya lagi, karena melihat wajah ibu yang amat pilu.