Mohon tunggu...
Pendidikan Pilihan

Gurita dan Penglihatannya yang Super Canggih

15 Oktober 2018   07:45 Diperbarui: 15 Oktober 2018   08:05 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gurita merupakan hewan laut yang sangat unik. Seperti kita tahu, gurita memiliki kemampuan mengubah warna tubuhnya untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitar. Hal ini sangat menarik karena ternyata, gurita hanya memiliki satu fotoreseptor, yang berarti hewan tersebut melihat sekelilingnya dalam hitam putih saja! 

Perlu kita ketahui bahwa untuk dapat melihat berbagai warna, organisme membutuhkan minimal dua fotoreseptor dan manusia memiliki tiga fotoreseptor. Fenomena ini sangat unik dan mendorong ilmuwan untuk mencari tahu bagaimana suatu organisme yang hanya bisa melihat sekelilingnya terlihat hitam putih namun dapat menyesuaikan warna tubuhnya dengan lingkungan sekitar yang berwarna-warni.

Gurita merupakan salah satu hewan laut kelas cephalopoda dengan penglihatan yang lebih maju dibandingkan dengan hewan laut lainnya. Gurita mampu memanfaatkan penglihatannya untuk membedakan ukuran, bentuk, dan orientasi benda, serta kecerahan dan cahaya yang terpolarisasi.

Struktur mata gurita tersusun atas pupil, lensa, dan retina. Pupil gurita berbentuk persegi panjang dengan arah horizontal dan banyaknya cahaya yang masuk diatur dengan menambahkan atau mengurangi panjang dan lebar pupil. 

Bentuk pupil berperan dalam chromatic blurring yang dilakukan oleh gurita. Chromatic blurring merupakan kondisi gambar atau objek yang dilihat memiliki warna kabur. Hal ini dapat disebabkan karena seluruh panjang gelombang cahaya yang masuk tidak jatuh pada titik fokus yang sama.

Gurita dan anggota cephalopoda lainnya berevolusi memiliki bentuk pupil yang panjang dan lebar. Bentuk pupil yang bulat, seperti pada manusia, membuat semua panjang gelombang cahaya masuk dan jatuh pada titik fokus yang sama sehingga menghasilkan tingkat chromatic blur yang rendah atau objek terlihat jelas. 

Berbeda dengan manusia, bentuk pupil yang cenderung melebar pada gurita menyebabkan cahaya dapat masuk ke mata dari berbagai arah dan panjang gelombang cahaya tidak dapat jatuh pada titik fokus yang sama sehingga menyebabkan tingkat chromatic blur yang tinggi dan objek akan terlihat blurry.

Lensa gurita berbentuk bulat seperti bola dan cahaya difokuskan dengan cara menggerakkan lensa ke depan dan belakang. Hal tersebut berkaitan dengan kemampuan gurita dalam melakukan chromatic aberration. 

Chromatic aberration merupakan kondisi ketika berbagai gelombang cahaya yang berbeda masuk ke mata dan jatuh pada titik fokus dengan jarak yang berbeda-beda di belakang lensa yang menghasilkan gambar suatu objek terlihat blurry dan warna-warni di sekelilingnya.

Penelitian mengenai kemampuan gurita dalam melihat lingkungan sekitarnya berwarna-warni telah dilakukan oleh Alexander Stubbs dan Christopher Stubbs pada tahun 2016. Pasangan ayah-anak tersebut mengembangkan suatu simulasi berbasis komputer untuk memahami bagaimana mata gurita sebenarnya dapat membedakan warna. 

Jawaban misteri di atas diperkirakan karena bentuk pupil yang lebar dan chromatic aberration yang dimiliki gurita, sehingga memberi keuntungan tersendiri dalam bertahan hidup di laut dengan satu fotoreseptor.

Gurita dapat mengetahui warna sekitarnya dengan membawa panjang gelombang tertentu ke titik fokus pada retina. Kemampuan untuk memfokuskan panjang gelombang tertentu didukung dengan pengaturan kedalaman bola mata, jarak antar lensa dan retina, dilatasi pupil dan chromatic blur. 

Keduanya menyimpulkan bahwa walaupun penglihatan gurita sangat blurry, mereka dapat melihat secara fokus suatu objek dengan warna-warna yang lebih murni sehingga mereka dapat menentukan perubahan warna tubuh untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya.

Retina gurita tersusun atas sel-sel fotoreseptor atau retinula yang diapit oleh struktur berbentuk tabung yang disebut rhabdomere. Rhabdomere berperan dalam penyerapan cahaya karena pada permukaannya terdapat pigmen rhodopsin yang sensitif terhadap cahaya. Posisi rhabdomere pada satu sel fotoreseptor dengan sel lainnya adalah tegak lurus sehingga gurita dapat melihat cahaya yang terpolarisasi.  

Gelombang cahaya yang ditangkap oleh mata umumnya memiliki derajat kemiringan yang berbeda-beda. Namun, pantulan cahaya dari air atau logam menyebabkan menyebabkan derajat kemiringan menjadi lebih seragam. 

Hal tersebut dikenal sebagai cahaya yang terpolarisasi. Adanya derajat kemiringan gelombang cahaya yang lebih dominan menyebabkan fenomena glare atau silau yang tidak dapat diamati oleh mata kita. 

Berbeda dengan vertebrata, mata gurita memiliki posisi rhabdomere yang saling tegak lurus sehingga dapat membentuk sumbu polarisasi yang tepat untuk menghalangi cahaya terpolarisasi yang masuk.

Secara singkat, gurita harus menggunakan cahaya terpolarisasi untuk melihat karena cahaya matahari yang masuk ke dalam air laut telah melewati 'refraksi' sehingga menjadi cahaya terpolarisasi. Sifat cahaya terpolarisasi adalah hanya melewati satu garis bidang secara horizontal atau vertikal. 

Saat cahaya matahari melewati permukaan air laut dan cahaya menjadi cahaya terpolarisasi, fotoreseptor pada gurita yang mengandung mikrovili akan baris secara berjajar satu sama lain. Pigmen rhodopsin pada mikrovili juga memiliki posisi sejajar terhadap mikrovili. Sel reseptor selaras pada sudut kanan dan kiri. Pigmen rhodopsin membantu untuk  dapat melihat cahaya dengan tepat.

Sumber:

Moody, M. F., & Parriss, J. R. 1961. The discrimination of polarized light by Octopus: a behavioural and morphological study. Zeitschrift Fur Vergleichende Physiologie 44(3): 268--291.

Stubbs, A.L. & C.W. Stubbs. 2016. Spectral discrimination in color blind animals via chromatic aberration and pupil shape. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 113(29): 8206-8211.

Wells, M.J. 1978. Octopus: Physiology and Behavior of an Advanced Invertebrate. Springer Science & Business Media, Cambridge: xiv+403 hlm.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun