Daging sapi termasuk idola menu Lebaran. Sebut saja semur daging, rendang daging, empal daging dan sebagainya. Maklum saja, hari raya Idul Fitri adalah momen perayaan acara keIslaman terbesar di Indonesia. Euforia hari raya Haji atau Idul Adha pun tidak sesemarak Idul Fitri bagi kebanyakan rakyat Indonesia.
Bisa dibilang, seistimewa Lebarannya, semewah menu jamuannya. Meskipun mahal, demi menyuguhi para tamu Lebaran, masyarakat Indonesia rela merogoh isi kocek dan dompetnya lebih dalam untuk membeli jenis bahan pangan tertentu. Daftarnya antara lain daging sapi, daging ayam, santan kelapa, minyak goreng, cabai, bawang merah, bawang putih, dan masih banyak lagi.
Sesuai hukum permintaan dalam teori ilmu ekonomi, semakin banyak jumlah permintaan suatu barang atau jasa, maka semakin mahal harga barang atau jasa tersebut. Saya ingat betul, komentar rutin orang tua saya tiap kali pulang berbelanja dari pasar tradisional menjelang Lebaran datang, "Haduh, haduh! Harga kok ya selalu meroket tiap Lebaran. THR jadi numpang lewat aja nih." Pasti banyak orang mengiyakan pendapat Bapak dan Ibu saya tersebut.
Bahkan ketika dirunut lebih awal lagi, harga bahan pangan seringnya sudah mulai naik dari sejak awal Ramadhan. Jangankan harga daging yang memang tidak (terlalu) murah di hari selain Lebaran, harga bahan pangan sampingan pun ikut. Pengalaman saya di minggu pertama Ramadhan di awal Juni ini mendapati harga sebungkus (sachet) bubuk pudding atau jelly instant naik harganya dari Rp. 3000/bungkus menjadi Rp.4000/bungkus. Berarti harganya naik sebesar Rp.1000/bungkus atau hingga 30%, wow! Bisa jadi, ini karena melonjaknya pembuatan es buah atau minuman manis untuk buka puasa yang memakai pudding atau jelly sebagai pelengkapnya.
Kisah lainnya, teman saya yang berasal dari Bandung bercerita tentang acara buka bersama keluarganya di akhir pekan pada seminggu awal Ramadhan tahun 2016 ini. "Wah, belum Lebaran, harga daging sudah naik banget lho, Nis. Biasanya sekilo sembilan puluh ribu (Rp.90.000/kilo). Eh, kemarin waktu ke pasar, harganya sudah seratus empat puluh ribu per kilo (Rp.140.000/kilo),”curhatnya ke saya. Otomatis otak saya menghitung kenaikan harga daging sapi di Bandung tersebut. “Naik Rp.50.000/kilo berarti. Ampun ya, naiknya sampai 55%!” komentarnya saya takjub.
Maka saya pun langsung tertarik untuk mengikuti Nangkring Kompasiana bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Rabu, 22 Juni 2016, tentang tata kelola niaga harga daging sapi. Istimewanya lagi, Thomas ‘Tom’ Lembong sebagai Menteri Perdagangan (Mendag) bahkan secara sukarela menawarkan diri untuk menjadi narasumber utama dan satu-satunya pada acara yang berlokasi di Anomali Coffee, Menteng – Jakarta, pada pukul 17.00 hingga 19.00 WIB itu.
Kesediaan bapak menteri yang juga alumni Harvard University tersebut untuk langsung memaparkan informasi terpercaya dan edukasi kepada sebanyak 50 orang jurnalis warga dari Kompasiana tentu sangat layak diapresiasi. Selama hampir 2 jam, Pak Tom yang murah senyum tersebut berdiskusi dengan para Kompasianer dalam suasana, yang menurut beliau kepada moderator dari Kompas TV, Liviana C. (Livi), “Menyenangkan sekali bagi saya untuk bisa berdiskusi dalam suasana kekeluargaan seperti ini.”
“Mencoba hal-hal yang baru. Mencoba hal-hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini sesuai dengan semangat revolusi mental yang dicanangkan oleh Pak Jokowi (Presiden RI ke-7). Sekali-kali kita jungkir balik. Jika biasanya harga mahal saat Lebaran, saatnya hal tersebut diubah,” begitu tutur Pak Tom di awal diskusi. Selama ini, melonjaknya harga bahan pangan setiap Ramadhan dan dan Lebaran, terutama daging sapi, dianggap normal oleh (hampir) semua masyarakat Indonesia. Akibatnya, mereka pun pasrah dengan kenyataan tersebut sekalipun membuat kondisi keuangan mereka kembang-kempis.
Lalu, apakah penyebab utama kenaikan drastis harga daging sapi selama ini? “High Cost Economy. Di sini (di Indonesia), semuanya serba mahal. Pulsa mahal, listrik pun mahal,” jawab Pak Tom. Lanjut beliau, “Inefisiensi struktur industri menyebabkan tingginya biaya ekonomi di Indonesia.” Contohnya, biaya transportasi dari peternakan sapi ke rumah pemotongan hewan (RPH) menjadi tinggi karena kemacetan di jalan. Ditambah lagi dengan kemacetan yang kembali terjadi dari RPH ke pasar tradisional maupun supermarket tempat daging sapi didistribusikan ke masyarakat luas.
“Di Malaysia dan Singapura, infrastrukturnya sudah jauh sangat efisien daripada Indonesia sehingga kemacetan tidak menjadi masalah lagi,” ujar Pak Tom. Kemendag juga telah mengirimkan tim kerja ke Malaysia dan Singapura untuk melihat tata kelola harga daging sapi di sana, termasuk meninjau ke supermarket dan pasar tradisional. Terpacu dengan optimalnya efisiensi struktur industri kedua negara tetangga tersebut, Pak Tom pun mantap berprinsip, “Ketika mereka bisa, kenapa kita tidak bisa? Indonesia juga pasti bisa.”