Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mencermati Investasi Pendidikan

29 Agustus 2014   14:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_355961" align="aligncenter" width="318" caption="Pendidikan untuk Semua (www.ayogitabisa.com)"][/caption]

Bulan Mei hingga Agustus rutin menjadi waktu tersibuk bagi para orang tua dengan anak usia sekolah di Indonesia.Kesibukan itu antara lain persiapan ujian kenaikan kelas, ujian nasional (UN), memasuki sekolah atau kampus baru, hingga yang terutama yaitu tersedianya dana pendidikan.Namun, apakah semua investasi orang tua secara waktu, tenaga, dan pastinya biaya, pada dunia pendidikan di Indonesia kelak berbuah manis?

Sebelum pelaksanaan UN SMU di bulan April lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus asusila yang menimpa seorang murid TK pada sebuah sekolah internasional di ibukota.Jika orang tua korban, dalam hal ini sang ibu, tidak gigih memperjuangkan keadilan bagi putra ciliknya, bisa jadi kasus memprihatinkan tersebut akan tetap tertutup rapat di balik tembok tinggi sekolah.Tak sampai sebulan kemudian, kasus kekerasan fisik oleh segelintir senior yang berpikiran sempit pada satu sekolah tinggi pelayaran di Jakarta dialami seorang mahasiswa baru.Orang tua korban meminta agar tak ada lagi korban penganiayaan setelah putra mereka menjadi korban jiwa.

Segelintir potret muram pendidikan tersebut tentu saja menimbulkan kekhawatiran besar bagi para orang tua sebelum memasukkan anak mereka ke suatu sekolah atau institusi pendidikan.Kedua kasus yang mencoreng wajah pendidikan nasional tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es.Peluang terjadinya kasus memalukan lainnya di dunia pendidikan yang belum terungkap luas masih sangat besar.Selain kasus kekerasan dan asusila di sekolah, masih ada tindakan tak terpuji lainnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan seperti pembocoran soal dan jawaban UN, korupsi dana bantuan Biaya Operasional Sekolah (BOS), hingga penggembungan(mark-up) biaya pendaftaran sekolah berupa dana gedung, seragam, dan juga buku paket pelajaran telah menjadi rahasia umum di masyarakat.

Para orang tua jelas memiliki harapan besar akan masa depan yang lebih cerah saat menyekolahkan putra-putri mereka.Fakta tersebut diperkuat dengan menjamurnya produk asuransi dan tabungan pendidikan yang banyak diminati masyarakat kelas menengah belakangan ini.

Ironisnya, saat berbicara tentang kualitas pendidikan di Indonesia, peran orang tua sebagai pendidik anak - selain para guru di sekolah - kerap kali terpinggirkan.Para orang tua modern lebih banyak berfungsi sebagai penyedia dana pendidikan semata.Padahal kini para orang tua tak lagi bisa sepenuhnya mengandalkan pihak sekolah dan guru seperti zaman mereka atau orang tua mereka dahulu.

Penelitian tentang Analisis Sharing Dana Pendidikan di Jawa Barat oleh tim peneliti dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tahun 2009 menunjukkan rata-rata biaya operasional pendidikan anak yang harus ditanggung orang tua sangat besar.Nominalnya berkisar dari tiga juta rupiah per tahun di SD, sembilan juta per tahun di SMP, hingga tiga belas juta rupiah per tahun di SMU.Biaya tersebut jauh melampaui besaran biaya satuan (unit cost) yang tersedia melalui dana BOS dari pemerintah, bahkan sekalipun jika dana BOS dari tingkat pusat, propinsi, sampai kota atau kabupaten disatukan.Besarnya investasi berupa biaya pendidikan membuat banyak orang tua yang menganggap sudah seharusnyapihak sekolahbertanggung jawab penuh terhadap pendidikananak mereka.Akan tetapi, sebelum memasuki bangku sekolah, bukankah seorang anak terlebih dahulu menghabiskan periode awal kehidupannya di rumah?

[caption id="attachment_355962" align="aligncenter" width="640" caption="Investasi Pendidikan Jika Dianalogikan dengan Pohon (www.kayujabon.biz) "]

14092720531135607970
14092720531135607970
[/caption]



Tingginya biaya pendidikan sepatutnya malah membuat orang tua semakin berperan aktif dengan secara seksama mengamati sekecil apapun perkembangan anak di sekolah.Anak kini tidak lagi sekedar disekolahkan untuk melaksanakan kewajiban belajar demi meraih nilai dan prestasi akademis yang membanggakan, namun juga untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang matang secara fisik, mental, maupun sosial.Salah satunya dengan meregulasi diri anak secara positif dalam proses pembelajaran (self regulated learning process) berupa optimalisasi pengelolaan faktor internal dan eksternal yang ada di sekitar anak. Self regulated learning process berkembang dari teori kognisi sosial menurut psikolog Albert Bandura yang menyatakan bahwa manusia adalah produk struktural yang interdependen dari aspek pribadi (person), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment).

Survei yang dilakukan terhadap 1018 orang tua di Inggris pada tahun 2013-2014 oleh Asosiasi Nasional Kepala Sekolah dan Keluarga (National Association of Head Teachers and Family Action/NAHT) menemukan bahwa sebanyak ¾ responden mengakui bahwa ketidaksiapan seorang anak menghadapi lingkungan sekolahnya berpotensi menghambat anak dalam proses belajarnya.Sebelum memasuki sekolah, orang tua harus menjadi panutan yang positif (positive role models) di rumah bagi anak-anak mereka.Caranya antara lain dengan mendengarkan dan menghargai pandangan anak sehingga anak merasa aman dan nyaman saat berdiskusi dengan orang tuanya, terutama saat anak menghadapi masalah.Ketika anak mendapati bahwa orang tuanya dapat menjadi pendengar yang baik dan pemberi solusi yang konstruktif, kepercayaan dirinya akan meningkat yang berujung pada peningkatan prestasi belajar di sekolah.Namun, saat anak hanya dipuja-puji saat berprestasi dan langsung dicaci-maki ketika gagal, maka anak akan rentan menutup diri dan mudah putus asa.Kegagalan yang dialami seorang anak seharusnya menjadi pembelajaran baik bagi orang tua maupun sang anak untuk bertindak lebih baik lagi ke depannya.

Otonomi, tanggung jawab individu, dan pendidikan agama sudah sewajibnya diajarkan orang tua kepada anak-anak sejak dini agar anak menjadi pribadi yang memahami benar setiap konsekuensi dari pilihan hidupnya.Seorang anak juga harus menyadari ia akan mendapatkan haknya setelah menunaikan kewajibannya dan bukan sebaliknya.Semua proses pengasuhan tentunya harus dilandasi kasih sayang yang berimbang antara proporsi hukuman (punishment) and imbalan (reward).Jika orang tua telah menunaikan kewajiban pengasuhan anak secara bijak, kelak buah hati mereka akan mengingat orang tua bukan hanya sebagai sosok penyedia dana pendidikan (funding investor), tapi juga meneladani mereka sebagai sosok panutan ideal (role models) sepanjang hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun