Setelah menonton dua wawancara media TV dengan Bu Susi, saya jadi bisa melihat sisi lain beliau. Jika selama ini titel pendidikan, perilaku merokok, tattoo, maupun kehidupan pribadinya sebagai single parent yang menjadi trending topic, kenapa tidak mengenalnya dari sisi yang berbeda?
Timeline Perjalanan Hidup Bu Susi, Sang Menteri Penuh Percaya Diri (Sumber: www.hipwee.com)
"I" Pertama ala Bu Susi
Selasa petang, 28 Oktober 2014, di Kompas TV saya menyaksikan wawancara beliau. Bu Susi yang berbusana biru dan kain biru berwarna senada menjawab pertanyaan reporter dengan hati-hati. Mungkin karena beliau lelah setelah dari pagi berkenalan dengan staf DKP dari lantai ke lantai gedung. Atau bisa juga, Bu Susi tak ingin menambah kontroversi yang telah melingkupi dirinya dibandingkan tujuh Srikandi lainnya di kabinet Jokowi 2014 - 2019. Sekalipun demikian, semangat dan antusiasmenya saat berbicara tentang perikanan dan kelautan Indonesia tetap tampak jelas dalam wawancara tersebut.
Jujur saja, dalam wawancara tersebut, saya menangkap rasa sungkan dari sang interviewer untuk menanyakan secara lugas mengenai status pendidikan terakhir Bu Susi. Kalimatnya dibuat berputar-putar dan lebih bernada pancingan. Hebatnya Bu Susi langsung bisa menangkap sinyal-sinyal halus dari lawan bicaranya setelah menjawab dua pertanyaan sang reporter.
Saat ditanya, alasan Pak Jokowi menunjuk beliau sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, dengan diplomatis seraya tersenyum penuh arti Bu Susi menjawab, "Silakan ditanyakan kepada Pak Jokowi sendiri." Jawaban yang brilian. Bukankah pengangkatan menteri memang hak prerogatif sang RI1?
Selanjutnya, pertanyaan 'pancingan' lainnya adalah, "Apakah Bu Susi sudah berkenalan atau bahkan akrab tujuh menteri wanita lainnya?" Kembali sang menteri yang fasih berbahasa Inggris itu tersenyum simpul. Beliau pasti sadar, dari kedelapan orang menteri wanita di Kabinet Kerja Jokowi, hanya beliau yang tidak lulus SMU.
Tanpa berpikir lama, Bu Susi menjawab dengan tetap percaya diri, "Ya, semuanya memiliki latar belakang pendidikan formal yang tinggi. Hanya saya yang tamat SMP." Lanjut Bu Susi, "Hanya dengan Mbak Puan, saya sudah kenal lama. Selebihnya baru bertegur sapa. Namun, saya yakin mereka adalah wanita-wanita hebat dan kuat dengan pikiran yang terbuka (open-minded). Biasanya dengan karakteristik yang sama, chemistry bisa klop, sehingga interaksi akan lebih mudah terjalin." Bu Susi menambahkan lagi, bahwa saat tindakannya di bidang kelautan dan penerbangan perintis mendapat pengakuan di tingkat nasional maupun internasional - beliau enggan menyebutnya sebagai penghargaan - bukan pujian yang diperolehnya. Sebaliknya, malah banyak yang berkomentar, "Wah, sekarang akhirnya 'kegilaan' kamu diakui orang lain ya, Sus." Tetap dengan senyum yang tersungging, Bu Susi berkata lagi, "Tapi, itu bukan masalah bagi saya. I just try to do my best." "I" yang pertama ala Bu Susi yang bisa saya tangkap dari wawancara berkesan malam itu adalah INDEPENDENSI. Tanpa kemandirian yang luar biasa, bagaimana mungkin seorang wanita lulusan SMP bisa memberdayakan dirinya sehingga tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, namun juga orang lain dan lingkungan sekitarnya? Saya juga yakin, Bu Susi bukanlah termasuk tipe-tipe wanita yang rela bersusah-payah menempuh pendidikan tinggi demi sekadar gengsi tanpa memahami substansi. Silakan dilihat di undangan pernikahan yang mencantumkan gelar pendidikan sang mempelai sebagai contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, apakah pernikahan menjadi tidak sah jika salah satu calon pengantin tidak bergelar akademis apapun? Beberapa guru besar yang bersahaja yang saya kenal secara pribadi tidak pernah meributkan orang lain yang hanya memanggil mereka dengan sapaan 'Pak' atau 'Bu' tanpa embel-embel 'Profesor.' Saya juga bukan penganjur apalagi pengagum gerakan feminisme yang mengagung-agungkan kesetaraan gender (gender equity). Dan saya yakin, Bu Susi pun tak ambil pusing dengan istilah tersebut. Namun, kemandirian itu bukan milik satu gender atau berarti melupakan peran orang lain. Independen menurut Bu Susi - kesimpulan saya setelah mengetahui perjalanan hidup beliau - berarti berani memilih sesuai hati nuraninya dan bertanggungjawab penuh atas pilihannya tersebut. Saya salut, tak sekalipun ucapan Bu Susi yang menyalahkan orang lain atau keadaan yang memaksanya hingga harus drop-out saat SMU. Menurut saya, jika seseorang memilih korupsi, siap-siap saja menanggung resiko masuk bui tanpa harus menyalahkan sistem atau orang di sekitarnya yang dianggap telah menjebaknya. As simple as that. "I" Kedua ala Bu Susi Esok harinya, Rabu 29 Oktober 2014, pada acara Metro 8 - 11, Bu Susi kembali diwawancarai. Kali ini oleh seorang reporter wanita. Bu Susi yang biasanya bergaya tomboy dan enerjik, pagi itu memakai kebaya hitam dan rambut disanggul. Ketika ditanya tentang busananya, sang menteri menjawab, "Ini untuk acara sertijab. Kalau belum dimulai juga (setelah wawancara), saya akan ganti baju dulu." Ah, Bu Susi memang tak suka basa-basi. Seperti biasanya, pertanyaan tentang status pendidikan beliau kembali mengemuka dengan jalan berputar. Kali ini, Bu Susi menjawabnya dengan pengajaran nilai yang ditanamkan ayahnya, "Saya diajarkan ayah saya untuk memiliki integritas. Jika kita memiliki integritas, kita akan bebas dan memiliki kebebasan (freedom)." Beliau lalu menyambung, "Dengan integritas (walk the talk = seiring dan sejalan dalam perkataan dan perbuatan), seseorang akan menjadi lebih bahagia. Saat sudah bahagia, maka seseorang akan bekerja lebih keras karena energi bahagia yang dimilikinya." Setuju sekali, Bu Susi! INTEGRITAS adalah jurus kedua milik Bu Susi dalam menjalani hidupnya. Tak terkecuali, saat beliau telah menjadi birokrat sebagai menteri. Bahkan Bu Susi juga blak-blakan mengungkapkan kepada sang mbak reporter, beliau berkata pada sang bos dan juga Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputeri, "Saya sadar, sebagai menteri kebebasan saya terbatas. Namun, tidak dengan integritas saya. Jika selama menjadi menteri, saya sulit atau bahkan tidak bisa untuk tetap berintegritas, I will resign." Bu Susi juga menyampaikan keberatannya akan kebijakan subsidi. Menurut beliau, subsidi tidak membuat rakyat lebih maju dan tidak mempunyai daya saing tinggi dengan bangsa lain karena selalu bergantung pada pemerintah. Namun, bukan berarti pemerintah lepas tangan begitu saja dengan rakyatnya. Pendampingan dari pemerintah tetap mutlak diperlukan agar masyarakat terus berkembang dengan baik ke depannya (well-developed). Beliau mencontohkan, masyarat nelayan di Pangandaran yang sudah mandiri pun tetap merasa perlu adanya pelatihan dari pihak pemerintah. Menurut beliau, belajar itu harus selalu dilakukan sepanjang hidup seseorang, meskipun bukan selalu dalam bangku pendidikan formal. Untuk kalimat yang satu itu, saya setuju dengan Bu Susi, namun dengan catatan tambahan. Pembelajaran yang dilakukan seseorang, baik di ruang sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari idealnya saling melengkapi dan bukan saling mengkritisi. Kabinet Kerja Jokowi belum lagi genap berumur seminggu. Begitu pula dengan masa kerja Bu Susi sebagai menteri. Saya berharap, masyarakat kini tidak lagi terfokus pada hal-hal yang sebenarnya masih bisa dikompromikan atau dicarikan solusinya. Mana tahu, Bu Susi kelak tergerak - di sela kesibukannya sebagai menteri - mengambil Kejar Paket C sehingga menjadi contoh dan keteladanan yang nyata bagi masyarakat luas: "Menteri saja masih mau sekolah lagi lho....." Lalu, tentang rokok, siapa tahu Bu Susi juga akhirnya memilih dan sukses berhenti merokok seperti halnya Presiden Amerika Serikat, Barack Obama setelah menjabat. Mari kita doakan bersama. Selamat bekerja untuk Kabinet Kerja Jokowi. Selamat bekerja, Bu Susi! Dengan jurus "2I" Anda, semoga Indonesia akan segera dan semakin berjaya di samudera, Amin. Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H