Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Atap Hijau

5 Mei 2015   09:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430793920885430464

[caption id="attachment_415056" align="aligncenter" width="600" caption="Rumah beratap hijau di Pulau Sentosa Singapura (Ilustrasi: www.inspirationgreen.com)"][/caption]

Wisma sekaligus tempat usaha itu sudah hampir selesai pembangunannya.Orang-orang menyebutnya sebagai ‘ruko’.Bagi Handi, tempat itu menjadi ladang uangnya.

Handi selalu datang ke rukonya tiap pukul enam pagi.Hingga pukul delapan pagi, dia mengawasi para pekerja bangunan di sana.Setelah itu, dia pergi untuk mengawasi tokonya yang lain.Barulah jam empat sore dia kembali lagi ke rukonya ini.Jam enam sore Handi pulang ke rumahnya di pinggiran kota.

“Aduh, apa ini?”

Langkah Handi terhenti oleh seonggok bungkusan.Dipungutnya benda terbungkus plastik itu.Handi membaca tulisan di bagian depan benda yang kini sedang dipegangnya.“Pupuk tanaman.”

Pandangan Handi segera menyapu sekelilingnya.Kini matanya tertumbuk pada tumpukan ember bekas wadah cat.Handi bergegas memeriksa bagian bawah semua wadah yang sebagian terbuat dari plastik dan lainnya dari logam.Semuanya sudah berlubang di dasarnya.Bukan berupa lubang besar.Tapi, lubang-lubang kecil yang tersebar merata.

Dipicu emosi, Handi spontan menendang salah satu ember raksasa itu.Tak ayal, tindakannya menimbulkan kegaduhan.Beberapa pekerja bangunan buru-buru menghampirinya.

“Ada apa, Pak Handi?” tanya mereka.Wajah mereka tampak ketakutan saat melihat wajah Handi yang mulai merah-padam.

“Siapa yang merusak ember-ember ini?! Siapa?!” Suara Handi sudah mirip benar sekarang dengan volume pengeras suara termaksimal.

“Siapa?! Hayo, mengaku saja!!”

Suara para pekerja bangunan yang berada di sekitar Handi kini serupa dengungan lebah.Berisik tetapi tak jelas.Handi semakin meledak. Ditariknya salah seorang pekerjanya yang bertopi semerah darah.Secepat kilat direnggutnya topi itu dari kepala pemiliknya.

“Kamu ya pelakunya?Betul, pasti kamu orangnya!” hardik Handi.

“Bukan! Bukan saya, Pak!” jawabnya seraya mengibas-ngibaskan tangannya.

“Bohong! Saya lihat, kamu kemarin yang bertugas mengecat tembok!”

“Ya, betul, Pak.Tapi…….”

“Nah, itu! Kamu mengaku juga!”

Tinju Handi hampir saja mendarat ke wajah si topi merah yang badannya sudah tak kokoh lagi berdirinya.Si topi merah itu tampaknya sudah pasrah benar dengan nasibnya di tangan Handi.“Berhenti! Silakan tinju saya, Pak Handi!” tiba-tiba ada suara yang menyela.

Handi sontak mengurungkan niatnya.Dia kenal betul suara itu.

“Pak Mul, tidak usah ikut campur.Ini bukan urusan Bapak.”Handi sengaja membelakangi lawan bicaranya.Telapak tangannya masih terkepal kencang.

Pria tua yang menyela aksi main hakim sendiri Handi itu menepuk lembut pundak Handi.“Saya yang harus ditinju,” katanya pelan namun dengan nada tegas.

“Kemarin saya yang melubangi semua wadah bekas kaleng cat itu.”

Suasana seketika hening.Handi membalikkan badannya.Dipandangnya lurus dan tajam mandor pembangunan rukonya tersebut.

“Ayo! Kita selesaikan urusan ini di mobil saya!” ajak Handi.Seperti dikejar hantu, dia berlari menuju mobilnya yang diparkir di luar halaman ruko.Sambil mengikuti Handi, Pak Mul berseru kepada anak buahnya, “Kembali bekerja semuanya!”

“Pak Mul, bukannya saya bilang, buang saja ember bekas cat itu ke sungai?”

“Kenapa harus dibuang ke sungai?”

Handi menggeleng-gelengkan kepalanya.Dia rasanya sudah ingin menghadiahi bogem mentah untuk Mul.Nafasnya ditarik panjang sebelum berbicara lagi.

“Supaya praktis dan kita tidak perlu lagi mencuci sisa cat dalam kaleng! Masak begitu saja Pak Mul tidak paham?!”Dua orang pekerja bangunan yang melintas di samping mobil Handi mempercepat langkah mereka.

Mul tertunduk.Dia tidak rela air sungai kotor dan tercemar karena sisa cat dari tempatnya bekerja.

“Pak Handi, maaf saya sudah lancang.Tapi air sungai itu menjadi mata air yang menghidupi penduduk sekitarnya.Termasuk keluarga saya.”

Pikiran Handi menerawang ke angkasa.Dia tak ingin berlama-lama lagi.

“Gaji Pak Mul bulan ini saya potong setengahnya untuk mengganti ember.”

“Ya, Pak.”

“Sudah! Kerja yang benar sana.Saya harus pergi sekarang.”

Lima menit kemudian, mobil Handi sudah melintas di jalan raya.

Pikiran Handi sebulan terakhir ini mirip benang kusut.Semuanya ruwet.Dia sudah menghabiskan banyak uang untuk pembangunan rukonya yang berlokasi di tengah kota tersebut.Dari semua tokonya, pembelian ruko itulah yang termahal.Bagaimana tidak?

Letaknya sangat strategis.Ruko itu berada di pusat kota.Mau ke mana-mana dekat.Mulai dari pusat perbelanjaan, perkantoran, terminal bus, hotel, jalan tol, dan ini yang terpenting, beberapa lokasi wisata berupa taman serta serta tempat rekreasi.

Di rukonya inilah dia akan membuka toko oleh-oleh.Sudah lama Handi mengincar lokasi usaha di sekitar tempat wisata.Kotanya semakin ramai dengan kunjungan wisatawan lokal dan asing.Handi dapat mencium peluang usaha yang sangat menjanjikan keuntungan melimpah dengan menjual oleh-oleh panganan khas daerahnya dan sekitarnya.Tidak hanya itu saja.Sekolah-sekolah yang bagus juga bertempat tak jauh dari rukonya.Handi ingin agar ketiga anaknya bisa bersekolah di salah satu sekolah yang bermutu itu.Kalau sekolah mereka sudah berkualitas, masa depan mereka lebih terjamin.

Namun, apa daya.Baik istri maupun semua anak Handi sudah terlanjur betah tinggal di pinggiran kota.Alasan mereka, “Apa enaknya tinggal di ruko? Sempit dan panas.”

Handi memperlambat laju mobilnya.Dia sudah hampir sampai di tokonya yang lain yang berjarak 5 km dari ruko sebelumnya.Wanginya bau roti yang baru dipanggang merayapi hidungnya.Toko milik Handi ini menjual produk roti dan kue.

Saat memasuki toko, pikiran tentang kejadian tak mengenakkan sebelumnya segera ditepisnya.Pelanggan tokonya harus selalu dilayani dengan penuh senyum dan sopan-santun.Seperti biasanya, Handi mengawasi bagian kasir.

“Pak, katanya mau buka toko oleh-oleh di pusat kota ya?”

Handi menoleh ke arah suara lembut dari seorang wanita yang sedang membayar di kasir.Ibu-ibu muda yang berkerudung itu berbelanja bersama supirnya.

“Oh, betul sekali.Tapi baru bulan depan akan dibuka resmi.”Handi sigap membantu pegawainya yang sedang memasukkan belanjaan sang ibu ke dalam kardus.

“Kalau baru buka, biasanya ada harga promosi, ya kan Pak?” tanya si ibu lagi.

Handi tersenyum kecil.Dia maklum benar kalau pembeli selalu menanti potongan harga.“Tentu saja ada.Apalagi kalau berbelanja dengan jumlah banyak.”

“Baguslah.Nanti kapan-kapan saya mampir ke sana kalau sudah buka.”

Senyum Handi semakin mengembang.“Saya tunggu kedatangan Ibu lho.”

“Mari, Pak.”

“Mari, Bu.Terima kasih.Datang kembali ya Bu.”

Ibu itu sudah akan melangkah keluar toko.Tapi, tiba-tiba dia mundur kembali.

Handi yang sedang membuka laporan keuangan tokonya langsung menutup lagi bukunya dan berjalan mendekati sang ibu.“Ada apa, Bu? Ada yang tertinggal?”

Lawan bicara Handi tidak segera menjawab.Dia memeriksa toko Handi terlebih dahulu dengan sapuan matanya.Lalu, kepalanya digeleng-gelengkan pelan.

“Ke mana tanaman di toko ini, Pak? Kok tidak ada sama sekali?”

Handi terperangah.Memang sudah tiga minggu lamanya tokonya itu tidak memasang lagi tanaman hijau di dalamnya.Selama itu pula, tidak ada satupun pembeli di tokonya yang menanyakan tentang absennya tanaman hijau dalam pot dari tokonya.

“Tukang kebunnya sedang pulang kampung, Bu.”

Si ibu mengangguk-angguk.“Begitu ya?”Dia lalu memeriksa sudut-sudut ruangan di toko.Handi berjalan mengekori ibu tersebut.“Haduh, ada-ada saja ibu ini,” gerutunya dalam hati.

“Pulang kampungnya sampai kapan, Pak?”

Kali ini, sang ibu berjalan kembali menuju keluar toko.Handi menjajari langkah si ibu.Handi terdiam sejenak.Seingatnya, tukang kebun di rumah yang juga bekerja merawat tanaman di toko rotinya ini pamit kerja selama seminggu.

“Eh, anu, Bu.Seharusnya dia sudah bekerja lagi dari dua minggu lalu.”

Langkah sang ibu kembali terhenti.

“Cari tukang kebun yang baru saja,” pesannya sebelum memasuki mobil.

Handi menarik nafas lega setelah mobil sang ibu bergerak meninggalkan toko rotinya.Dia sudah biasa menghadapi ulah dan tingkah para pembeli yang bermacam-macam.Sekalipun begitu, semuanya masih berhubungan dengan produk roti dan kue yang dijualnya.Nah, yang baru saja terjadi?Memangnya kualitas roti dan kuenya jadi menurun jika dia tidak menaruh tanaman hijau dalam pot di tokonya? Handi masih bingung dan tak mengerti benang merahnya.

“Mau ke mana, Pak?” tanya seorang pegawainya ketika melihat Handi menuju parkiran mobil di depan tokonya.Sebelum menutup pintu mobilnya, Handi berseru lantang, “Pulang.Saya pusing. Mau istirahat dulu.”

“Hati-hati di jalan, Pak.”

Handi menyetir pelan mobilnya dalam perjalanan pulang.Dia tak habis pikir dengan dua kejadian yang dialaminya berturut-turut pagi ini.Pertama, mandor rukonya, Mulyadi, ternyata tidak melaksanakan instruksinya untuk membuang kaleng bekas wadah cat ke sungai terdekat. Handi tidak ingin pekerja bangunan di rukonya malah sibuk membersihkan tumpukan kaleng kosong dari sisa-sisa cat yang masih menempel di dalamnya.Mereka harus segera menyelesaikan pembangunan rukonya.

“Kalau mereka tak bisa menyelesaikan tepat waktu, akan kucari pekerja bangunan baru saja,” pikir Handi.Namun, tiba-tiba dia teringat kesepakatannya dengan lurah tempat rukonya dibangun.Dia harus memakai penduduk lokal sebagai pekerja bangunannya, setidaknya setengah dari jumlah keseluruhannya.Handi tidak keberatan dengan syarat itu selama mereka bisa bekerja dengan baik.Dan selama ini, mereka memang tidak pernah mengecewakan Handi.

Sebenarnya yang ingin Handi ganti posisinya yaitu Mulyadi, sang mandor bangunan.Awalnya hubungan Handi dengannya berjalan baik dan lancar.Tetapi, Handi mulai kesal ketika Mulyadi ingin agar lahan parkir di depan rukonya kelak disisakan sedikit untuk tempat menanam pohon. Kata Mulyadi saat mengusulkan hal itu dua bulan lalu, “Supaya rukonya teduh dan asri, Pak Handi.”

Jelas Handi menolak mentah-mentah usulan Mulyadi.

“Ini toko makanan, bukan toko tanaman, Pak Mul.”Mulyadi tetap bertahan, “Ya, saya tahu, Pak.Tapi, kalau hujan turun, tanaman itu bisa menyerap air hujan.Jadi lahan parkiran ruko Pak Handi tidak akan banjir karena digenangi air terlalu banyak.”

Handi tetap kukuh menolak usulan Mulyadi.Dia tidak rela kehilangan uang dengan menyempitnya lahan parkiran rukonya.Kalau lahan parkirnya kecil, tentu akan berdampak pada sedikitnya jumlah pembelinya.Lagipula, bukan kewajibannya untuk menghijaukan lingkungan.Bukankah sudah ada dinas yang bertugas mengurusnya?

Namun, saat bercerita pada Suci, istrinya, Handi terpaksa mengalah.Sang istri yang hobi berkebun jelas mendukung rencana Mulyadi.Tanaman hijau dalam pot di setiap sudut toko roti dan kuenya adalah ide Suci.Pasangan itu lalu menugaskan tukang kebun di rumah mereka untuk merawat tanaman di toko roti.Handi tidak mau mengeluarkan biaya tambahan dengan menggaji lebih pegawai toko rotinya untuk merawat tanaman di tokonya. Tahu-tahu sekelebat tanda tanya melintas di benak Handi, “Apa ibu tadi ingin menjual tanaman kepadaku?”Handi merasa tidak asing dengan sang ibu itu.Sepertinya dia pernah melihat wajah ibu itu sebelumnya.Tapi, di mana dan kapan tepatnya?

Toko oleh-oleh Handi kini sudah berjalan selama sepuluh hari.Pengunjungnya terus meningkat.Tentu saja Handi senang.Tapi, pagi ini dia sedikit kesal juga karena harus membantu Suci menyiram tanaman di atap toko oleh-olehnya karena Mulyadi sedang sakit.Dibantu Mulyadi sebagai tukang kebunnya yang baru, Suci menjadikan atap ruko milik Handi sebagai taman hijau.Mereka tak membeli pot yang baru, melainkan memakai barang bekas yang didaur ulang menjadi pot.

“Pak Handi, ada tamu yang mau bertemu,” kata seorang pegawai yang menyusulnya ke atap ruko.“Siapa?”Belum sempat Handi bersiap diri, sesosok pria berpakaian dinas resmi menyalaminya.“Selamat pagi, Pak Handi,” sapanya ramah seraya mengulurkan tangannya. “Oh, eh, ah! Selamat pagi juga, Pak Walikota.”

“Masih ingat saya, Pak Handi?” Handi terbelalak.Sang ibu yang dulu pernah menanyakan tanaman di toko rotinya ternyata adalah istri walikota yang baru terpilih seminggu lalu!“Saya ingin menjadikan toko Pak Handi sebagai model percontohan bangunan ramah lingkungan dengan memiliki atap hijau.Anda bersedia?” tanya Pak Walikota.Handi spontan mengangguk.“Baguslah kalau begitu.Saya juga akan memberi penghargaan khusus untuk Pak Handi di bidang lingkungan.”Handi tersenyum malu.Dia tahu, semua ini tidak akan terjadi tanpa tekad keras dari Mulyadi.

“Pak Walikota, saya akan mengajak tukang kebun saya juga untuk bersama-sama menerima piala nanti, bolehkah?”

“Silakan, Pak Handi.” Senyum lebar mengembang di wajah Pak Walikota dan istrinya.

Suci berbisik merdu kepada suaminya, “Terima kasih.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun