Jika diminta untuk menyebutkan tokoh utama wanita dalam film Indonesia di era tahun 2000-an, tokoh Cinta yang metropolis dan modis dalam film 'Ada Apa dengan Cinta/AADC' (2002) yang diperankan Dian Sastrowardoyo bisa jadi yang paling diingat penonton. Ini mirip dengan kedua tokoh ikonik Nyi Blorong dan Nyi Roro Kidul yang dilakoni 'Ratu Horror Indonesia' yaitu aktris Suzzanna selama era tahun 80-an. Â
Lalu, apakah tokoh wanita dalam film Indonesia itu selalu yang berkesan manis atau mistis? Wah, ternyata karakter perempuan di sinema nasional itu ternyata juga terus berkembang hingga kini lho!
Sebut saja tokoh detektif wanita yaitu Dina yang diperankan oleh aktris berbakat Putri Marino dalam film 'The Big 4' (2022). Jauh sebelum itu atau 44 tahun lalu, ada pula film '5 Cewek Jagoan' (1980) sebagai film Indonesia pertama yang mengetengahkan wanita sebagai tokoh laga utama dan dibintangi oleh sederet aktris senior antara lain Yati Octavia (Yanti), Lydia Kandou (Lydia), Eva Arnaz (Evi), Dana Christina (Lulu) dan Debby Cynthia Dewi (Anita).
Nah, momentum Hari Film Nasional pada 30 Maret lalu dan Hari Kartini pada tanggal 21 April ini adalah saat yang tepat untuk kita mengetahui sejarah film Indonesia dengan wanita sebagai tokoh utamanya. Kiprah para aktris nasional termasuk salah satu perwujudan cita-cita Kartini yang berjuang agar parapuan aktif di masyarakat seperti halnya kaum lelaki dalam membangun negeri.
Maka, inilah artikel tentang rangkuman transformasi karakter wanita di film Indonesia. Semoga tulisan ini dapat membuat kita semakin mengapresiasi peran kaum Hawa dalam memajukan film nasional hingga di level global.
Tahun 50, 60, dan 70-an:
Sosok Manis dan Korban Keadaan
Film 'Tiga Dara' (1956) bisa dibilang sebagai film nasional pertama yang menampilkan wanita sebagai tokoh utamanya. Film komedi musikal Indonesia yang dirilis pada tahun 1956 dan disutradarai oleh Usmar Ismail serta dibintangi oleh Chitra Dewi (Nunung), Mieke Wijaya (Nana), dan Indriati Iskak (Nenny) ini menampilkan kisah cinta tiga bersaudari yang tampil feminin dengan gaun, kebaya, dan rok dalam menanti jodoh mereka.
Peran sebagai isteri, ibu, dan juga putri yang berfokus pada sektor domestik memang masih melekat pada para aktris pemeran utama dalam film nasional di era tahun 50-an hingga tahun 60-an. Mereka digambarkan sebagai sosok wanita yang lemah, lembut, dan penurut.
Di sejumlah film nasional tahun 70-an, tokoh wanita malah acapkali identik sebagai korban yang tak berdaya antara lain akibat kawin paksa, kesulitan ekonomi, bahkan hingga pelecehan seksual. Film 'Si Manis Jembatan Ancol' (1973) menampilkan aktris Lenny Marlina sebagai Mariah yang dikisahkan menjalani jalinan cinta yang tragis dengan pernikahan sandiwara dan bahkan tewas karena ulah penjahat suruhan dari mantan kekasihnya.
Tokoh siswi sekolah pun tak luput dari aksi tercela berupa rudapaksa dalam film di era 70-an seperti halnya aktris Yenny Rahman sebagai tokoh Bunga dalam film 'Binalnya Anak Muda' (1978) yang berhasil lolos dari nafsu bejat si Ketua OSIS. Namun, aktris Yatti Surachman yang berperan sebagai adik Bunga bernama Rini yang malah menjadi korban rudapaksa.
Tahun 80-an hingga 90-an:
Karakter Idealis, tapi juga Pemanis
Kehadiran sosok wanita mandiri yang berpendidikan tinggi tak pelak membuat film nasional pada tahun 80-an lebih berwarna.Â
Film 'dr. Karmila' (1981) yang dibintangi Tanty Josepha bercerita tentang Karmila sebagai mahasiswi kedokteran yang tetap sukses meraih gelar dokter meskipun terpaksa menikahi dan melahirkan anak dari pria yang melecehkannya.
Film 'Amalia S.H.' (1981) juga patut ditonton bagi penggemar film hukum karena berkisah tentang aktris cantik sepanjang masa yaitu Widyawati yang memerankan pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum. Penampilan Amalia yang elegan dengan ladylike blouse ala tahun 80-an di film itu pun mampu memberikan pesan bahwa wanita yang berkiprah di bidang hukum juga tetap dapat tampil menarik.
Sayangnya, memasuki tahun 90-an, film Indonesia mengalami krisis kualitas sehingga mati suri mulai tahun 1993 hingga 2003, tak terkecuali para tokoh wanita utamanya. Tak heran, hanya dua aktris yang meraih Piala Citra untuk Pemeran Utama Perempuan Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) yaitu Meriam Bellina sebagai Desi dalam film 'Taksi' (1990), dan Lydia Kandou sebagai Cece dalam film 'Boneka dari Indiana' (1991) serta Ramona dalam film 'Ramadhan dan Ramona' (1992).
Para tokoh wanita dalam film nasional di era 10 tahun vakumnya FFI tersebut memang sebatas 'pemanis' karena perannya seputar urusan ranjang sehingga sejumlah aktris yang bermain di film-film erotis tahun 90-an sampai dijuluki 'bom seks.' Alih-alih diingat karena kualitas aktingnya, mereka tak lebih sebagai objek seksualitas untuk  menarik penonton pria, duh! Jangan sampai terulang lagi deh masa kelam itu.
Tahun 2000-an hingga sekarang:
Wanita Pendobrak dan Petarung
Munculnya film 'AADC' di tahun 2002 dengan tokoh Cinta sebagai anak gaul yang puitis menjadi pelopor beragamnya karakter tokoh wanita dalam film Indonesia. Sosok penulis muda bernama Adjeng, yang memendam trauma masa kecil karena ulah cabul kekasih ibunya, dalam film unik 'Mereka Bilang, Saya Monyet' (2008) berhasil diperankan dengan apik oleh Titi Radjo Padmaja dan membawa terobosan baru dalam tema yang masih tabu di Indonesia yaitu 'seksualitas perempuan.'
Tokoh istri di film tahun 2000-an pun lebih banyak berperan sebagai wanita karier yang dapat bersuara dalam rumah tangga alias tak semata sebagai pendamping suami.Â
Hal ini terlihat pada sosok Tata yang berprofesi sebagai praktisi periklanan dan diperankan Acha Septriasa dalam film drama romantis 'Test Pack: You're My Baby' (2012) setelah mengetahui bahwa rumah tangganya bersama Rahmat (Reza Rahadian) ternyata tak akan dikaruniai keturunan dari rahimnya. Â
Status janda pun ternyata tak menghalangi tokoh Marlina, (sekilas) sosoknya terkesan lemah dan pasrah, yang dilakoni Marsha Timothy dalam film 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak' (2017) saat menghabisi nyawa tujuh pria yang merampok rumahnya. Film 'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas' (2021) juga menampilkan Ladya Cheryl sebagai petarung tangguh yang tak segan melibas setiap lelaki jahat.
Peran wanita di film-film nasional terbaru pun kini turut menyentuh kecanggihan teknologi. Laura Basuki memerankan tokoh Dina dalam film bergenre social media thriller berjudul 'Sleep Call' (2023) yang terjebak tak hanya di perusahan pinjaman online (pinjol) ilegal demi melunasi hutangnya, namun juga terlibat kisah cinta dengan pria misterius yang baru dikenalnya melalui aplikasi kencan (dating apps) sehingga hidupnya pun tak lagi setenang dahulu.
Ke depannya, semoga setiap peran wanita dalam film nasional dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi penontonnya agar lebih berdaya serta maju hidupnya. Bukankah kedua hal tersebut yang selalu diimpikan Kartini bagi kaumnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H