Bagi kaum pekerja, kantor mirip rumah kedua. Selama 40 jam dalam sepekan (8 jam selama 5 hari kerja), pekerja berada di di perusahaannya. Tak heran, hubungan dengan rekan kerja bisa lebih akrab daripada dengan keluarga dan saudara. Namun, sejauh apakah rekan kerja bisa berbagi cerita di kantor mereka?
Bagaimanapun juga, kantor bukanlah rumah. Rekan kerja juga jarang sekali yang sekaligus saudara maupun keluarga. Ada etika profesional yang membatasi pergaulan dan pembicaraan antar rekan kerja, apalagi dengan atasan. Sekalipun suasana kantor bersifat santai (casual), tidak berarti para staf bisa sesantai layaknya di rumah masing-masing.
Budaya masyarakat Timur yang bersifat komunal (kelompok) seringkali juga menimbulkan dilema di tempat kerja. Maksudnya tentu baik dengan bertanya ini-itu ke rekan kerja. Tapi, bisakah seseorang membatasi pertanyaannya agar tak sampai dicap sebagai "Si Usil" apalagi "Si Biang Gosip" di kantornya?
Menurut para pakar karir dari Amerika Serikat dan Australia, ada hal yang layak maupun tidak layak untuk diceritakan apalagi sampai disebarkan di tempat kerja. Nah, apa sajakah topik sensitif di kantor? Berikut ini penjelasannya. Selamat membaca dan mempraktikannya.
Amannya, kita mengetahui sebatas status rekan kerja, masih lajang atau sudah menikah. Di luar itu, cukuplah menjadi urusan pribadi masing-masing. Jika masih lajang, tak perlu sampai diselidiki, sudah memiliki calonkah atau masih single and available. Banyak perusahaan yang melarang suami istri bekerja di satu tempat.
Saat sudah menikah, hormati urusan keluarga masing-masing. Tahan komentar sesederhana apapun tentang kondisi keluarga rekan kerja agar tak menyinggung perasaan mereka.Â
Ada pasangan yang sudah menikah belasan hingga puluhan tahun, tapi belum juga dikaruniai anak. Tak sedikit yang jumlah buah hatinya (hampir) menyamai anggota tim basket, bahkan bisa hingga tim sepak bola!
Pastinya, jangan pula menjadikan masalah asmara dan keluarga sebagai alasan menurunnya produktivitas kerja. Sekali atau dua kali, atasan dan rekan kerja masih bisa memaklumi. Setelah itu, pilihannya hanya dua yaitu kembali produktif atau mengundurkan diri.
Urusan keuangan misalnya besaran gaji dan side jobs
Urusan uang memang sensitif. Di satu kantor, umumnya nominal gaji para karyawan akan sama untuk posisi kerja yang setingkat. Tapi, lain ceritanya untuk pasangan mereka di rumah. Besar kecilnya gaji pasangan itu biarlah menjadi rahasia keluarga mereka. Saat ini, tak sedikit istri yang menjadi pencari nafkah (utama) di keluarga.
Ketika gaji rekan sekantor (relatif) bisa ditebak, lalu bagaimana dengan bonus kerja ataupun penghasilan tambahan? Sebesar apapun bonus dan pendapatan di luar gaji bulanan, staf yang bijak akan menahan diri untuk tidak menyombongkannya di kantornya. Kalau ada yang (iseng) bertanya, jawablah dengan kisaran angka umumnya.
Pastinya, para staf yang memiliki bisnis dan pekerjaan di luar profesi utamanya harus bisa membagi waktu dan energinya dengan profesional. Usahakan tidak mengumbar-umbar apalagi sampai membandingkan antara gaji (kecil) di kantor dengan (besarnya) penghasilan tambahan. Bayangkan jika atasan sampai mengetahui hal tersebut!